Rabu, 13 April 2016

Stop gusur-gusur plis

Sore ini, ditemani sebotol minuman probiotik dan beribu-ribu rasa syukur karena akhirnya laptop kesayangan Raisa bisa terkonek wifi asrama, saya akhirnya bisa mengunjungi blog yang dari tahun   2014 silam saya  PHPin bakalan diperhatikan dan akan sering saya berikan supply tulisan ini. Untung aja blog ini nggak sebaper akhi-akhi  yang akhirnya memilih menikah dengan akhwat lain karena saya cuekin.  *sok diincer cuiiih

Oke, kita ganti topik. Saat saya melakukan aktivitas ketik mengetik di sini, di platform yang berbeda sedang sangat ramai pembicaraan tentang reklamasi teluk Jakarta. Saya sebagai mahasiswi tua yang tak kunjung wisuda tentu nggak mau ketinggalan  dong demi terlihat keren dan up to date kondisi Indonesia terkini.  *istighfar Riii*

Sebenarnya bukan pada update nggak update terhadap isu terbaru, hanya saja karena tiap kali melakukan segala aktivitas keluar kamar, saya selalu lewatin TV yang hampir selalu menayangkan perihal kasus tersebut. Dan karena menyadari posisi saya sebagai golongan yang menurut bapak proklamator adalah 1 di antara 10 orang yang dapat mengguncang dunia, maka saya merasa penting untuk mempelajari dan mengkaji tentang isu reklamasi ini dengan kemampuan seadanya.

Ya syukur-syukur barangkali dari otak yang kemampuannya pas-pasan ini Allah memberikan sebuah gagasan yang dapat memberikan kebermanfaatan. (Aamiin)
Lagian nggak ada yang salah juga dengan  keinginan untuk memahami isu reklamasi yang selama ini kerap dijadikan lahan mengais pundi-pundi rupiah oleh penjahat korporasi dan sekutunya meskipun saya bukan seorang ahli kan?

Dari beberapa referensi yang saya baca, terkhusus kasus reklamasi pantai teluk Jakarta, ternyata masalah ini sudah ada sejak April 2007 silam dan sudah mendapatkan perlawanan  dari KNTI pada saat itu karena dinilai tidak dilandasi kajian akademis yang akurat serta dinilai berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup disana.

Tapi kok baru rame sekarang? Apa mungkin karena emang saya aja yang dalam rentan waktu tersebut masih se-apatis itu, atau karena saat ini kita hidup di era teknologi yang memudahkan seluruh akses informasi jadinya orang-orang lebih huebooh, ataukah karena kondisi Jakarta yang sedang berada dalam lingkaran merah sebagai daerah yang menuju perhelatan sengit politik kontestasi Pilgub 2017 mendatang? 

Entahlah itu bukan inti dari tulisan ini. Yang menjadi perhatian saya kali ini adalah perkara  gusur sana gusur sini oleh para  satpol PP itu.

Hal yang terbesit  di pikiran saya ketika membayangkan proyek reklamasi teluk Jakarta ini adalah, akan ada sekian ribu orang yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan sumber segala sumber dalam menjalani  roda kehidupan.

Ah, kok tega sekali sih para sekutu kapitalisme itu. Sebagai bagian dari kaum menengah kebawah yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi di PTN yang sumber pembiayaannya juga adalah dari rakyat, hati saya bergejolak bukan main.

Sudah sedemikian mengenaskan kah hidup di Indonesia yang katanya Negara gemah ripah loh jinawi ini?
Saya tidak ingin menyalahkan pemerintah. Apalah saya ini mahasiswi tak kunjung wisuda menyalah-nyalahkan pemerintah yang sudah banyak salah itu (?)

Hanya saja, dengan segala hormat dan penuh sayang, kepada yang terkasih Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemilik modal.  Tolong, jangan jadikan Indonesia sebagai negeri yang tidak ramah orang miskin.

Kalau memang sudah sebegitu susahnya mengatasi masalah kemiskinan di negara ini, setidaknya tolonglah untuk tidak semakin memiskinkan orang miskin, dan mengkayakan yang kaya. Bagaimana kira-kira perasaan bapak ibu yang terkasih  ketikan melihat realita masyarakat yang  menjadi korban gusur sana gusur sini itu?

Kalau tak ada rasa iba sedikitpun, coba diperiksa dada bapak ibu sekalian, barangkali hatinya sudah tidak ada..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar