Kamis, 20 Juni 2019

Mulai Lagi

Halo haloo, it's been a while..
Memang yaa, ternyata aku adalah mahluk yang paling tidak konsisten dalam menjaga ritme postingan tulisan dalam sebuah blog hahahaha....

Boro-boro mau nulis panjang lebar buat disubmit kesini, balesin chat orang aja kalo ga penting-penting amat ya ngendap sampe lumutan baru dibales. Tapi kan beda sis menulis sama balesin chat orang. Emang beda sih, tapi ya gimana ya, udah sebegitu malesnya akutuh berkutat dengat keyboard dan aktivitas ketik mengetiknya *istigfhar rii*

Ini bukan hal baru sih, saya dari dulu emang terkenal nyebelin kalo soal komunikasi tertulis. Hanya ke beberapa orang doang saya bersemangat buat berinteraksi via text. (P.s : ini di luar hal2 kerjaan dan semacamnya ya)

Bilang lagi mengidap writer block aja alesannya panjang bener yee hahaa

Soal menulis, saya nggak bener2 inget kapan memulainya dan apa yang saya tulis waktu itu. Dugaan saya palingan tulisan pertama saya itu sebuah curhat nggak jelas ala abg labil yang kalo disuruh baca saat ini saya lebih memilih mending jadi hakim MK di persidangan gugatan hasil pilpres 2019 huuhuu..

Yang saya ingat, saya menjadi lebih serius dalam dunia tulis menulis saat memutuskan untuk bergabung dengan sebuah organisasi riset ilmiah di fakultas tempat saya menimba ilmu. Namanya Lembaga Studi Ilmiah mahasiswa.

Yah, jadi pengen cerita kan tentang masa-masa awal kuliah dulu. Gapapa ya, kita flashback sebentar mengenang masa-masa ketika saya masih imut-imut *sekaligus amit-amit*

Saya nggak pernah sebelumnya berkeingan untuk kuliah di kota Malang khususon Universitas Brawijaya. Tidak usah diceritakan lah ya gimana ceritanya saya bisa kuliah di UB, sudah pasti karena tidak diterima di kampus tujuan utama saya hahaha

Bener emang kata pepatah bahwa Allah nggak ngasih sesuatu yg kita pengen, melainkan sesuatu yang kita butuh. Dengan diterimanya sebagai mahasiswa Brawijaya, bisa dibilang saya benar-benar beruntung karena dihadiahkan lingkungan yang masyaAllah indah sekali untuk berproses.

Singkat cerita, di awal ospek Fakultas saya merasa benar-benar digembleng untuk siap lahir batin menjadi mahsiswa yang di atas rata-rata. Terlebih dalam aspek gagasan keilmiahan. Saya memang pernah beberpa kali menulis KTI pas SMA, tapi konsep tugas-tugas keilmiahan ospek FKUB benar-benar membuat saya kewalahan saat itu. Saat itupun saya berazam untuk bergabung dengan LSIM demi mempermudah kehidupan saya sebagai seorang mahasiswa. Dan di LSIM ini lah saya belajar dan terlatih untuk menuangkan ide-ide sok iye dan pemikiran sotoy saya ke dalam bait-bait paragraf.

Kurang lebih begitulah asal-muasal perkenalan saya dengan dunia tulis menulis. Sedih sih, tulisan2 saya dalam bentuk proposal KTI, PKM, bussiness plan, press release, dan sejumlah artikel ilmiah semuanya tidak terarsip dengan baik. Jadi semakin gak ada bukti deh bahwa gini-gini saya pernah jadi orang yang waras..

Selain berbekal belajar lewat organisasi kepenulisan, yang perlu banget kita ketahui adalah, menulis bukanlah skill yang bisa didapat dengan proses yang instan. Mau sebanyak apapun bumbu teori yang kita pelajari dan kuasai, tapi kalo nggak sering nulis, rasanya semua akan percuma. Jadinya nanti kayak saya gini, nulis caption sama status FB aja tydack becus.

Lalu sepenting apa menulis itu? Apakah semua orang harus bisa menulis?
Depend on who you are. Jadi ya tidak semua orang harus bisa. Mari kita tidak usah membahas mereka yang tidak terlalu membutuhkan skil menulis sebagai sebuah kewajiban. Menurut saya, yang wajib memiliki skill menulis yaitu mereka yang terlibat dan menempuh jalan sebagai aktivis gerakan. Mereka harus mampu untuk menyampaikan gagasannya melalui tulisan. Tulisan yang tidak sekedar bacotan semata melainkan sesuai dengan kaidah sebenarnya. Tulisan yang menggerakan bahkan mampu menyongsong perubahan. Loh kok jadi serius begini hadeeh.

Berhubung jalan hidup pilihan saya adalah jalur alternatif yang jauh dari semua itu, jadinya menulis buat saya hanyalah sebuah media untuk berbagi isi pemikiran saya yang random. Terlebih karena saat ini saya hidup di belahan bumi yang cukup jauh dari rumah. Jauh dari jangkauan orang-orang yang bisa saya datangi kapan saja ketika butuh pundak untuk bersandar. Menulis akan membuat saya sedikit waras dengan segala drama kehidupan sebagai imigran yang sedang saya jalani saat ini.

Panjang juga ya hmm. Udah ah mau lanjut nontonin drama sidang gugatan hasil pilpres lagi wkwkwk.....


Minggu, 30 September 2018

Para Priyayi



Para Priyayi adalah sebuah buku tua yang sudah lama sekali bertengger dalam rak buku di rumah bersama dengan sekumpulan koleksi LKS dari jaman saya SMP. Entah dari mana asalnya saya tidak begitu paham. Besar kemungkinan milik sepupu yang kuliah jurusan sejarah tidak sengaja ditinggal. 

Tau-tau saya merasa tertarik untuk membacanya (Pertama Tahun 2010 dan dibaca ulang pertengahan 2018). Dan setelah selesai membacanya, rasanya seperti ada energi baru, yang tidak saja meningkatkan semangat hidup tapi juga sedikit merubah saya dalam menyikapi berbagai dinamika kehidupan. Yup, buku ini bisa dibilang salah satu buku yang sangat berpengaruh dalam hidup saya.
Retrospeksi dari buku ini menjadi sebuah model sejarah yang berguna bagi kita saat ini yang sedang bergulat dengan zaman yang serba terhubung. Tokoh-tokoh dalam para priyayi bergulat dengan terbukanya pemikiran akibat persinggungan dengan bahasa dan budaya Belanda sebagaimana kita yang saat ini bergulat dengan keterhubungan global yang ditawarkan teknologi.

Buku ini menyajikan pelajaran manajemen konflik yang baik dengan latar belakang history secara mikroskopis, yang dipercantik dengan detail lanskap kultural Jawa yang sangat kental. Benturan paham dan gaya hidup antara islam abangan, santri, kolonial, komunisme, dan modernitas disajikan alami, mengalir tenang, dan tanpa penghakiman. Sungguh sebuah eksekusi penulisan yang sangat indah. Membacanya membuat saya tidak ingin cepat-cepat menyudahinya.

Dalam review ini saya tidak akan menjelaskan banyak tentang Para Priyayi itu sendiri.  Sederhananya, simpulan saya tentang priyayi dalam buku ini yaitu  suatu unit kelas kedudukan atas hierarki sosial di tengah masyarakat., yang mana mereka adalah sekelompok manusia yang terlahir dari dorongan batin dan perbuatan hati untuk selalu memberikan kontribusi lebih kepada masyarakat luas.

Yang paling membekas dalam ingatan saya ketika membaca buku ini adalah, sajian filosofi kehidupan bahwa status fana tentang reputasi, tidak akan dimiliki secara abadi. Yang kekal adalah kemauan untuk menjadi manusia yang memanusiakan. Manusia yang tumbuh baik dan berguna untuk sesama, seperti yang diajarkan oleh tokoh Lantip dan Sastrodarsono.

Masih banyak kekaguman yang terlalu panjang jika saya ulas satu-persatu. Buku ini seharusnya menjadi bacaan yang wajib karena mengandung banyak materi yang dapat meningkatkan EQ. Saking bagusnya cara Umar Kayam menuliskan buku ini, bagi yang tidak suka membacapun akan sangat mudah menyesuaikan diri atau bahkan jadi sangat suka membaca.

Sayangnya, buku paling rekomended ini sudah langka beredar di toko buku kekinian. Tapi tenang, buat teman-teman yang tidak ingin menyesal karena tidak membaca Para Priyayi bisa kepo tipis-tipis ke akun instagram @bukusayang dan @kumajas.jp

Ini ngapa endingnya jadi promo dah guwaaah. Sekian dulu ya review nanggung dari saya. Kepadatan jadwal hari senin mengharuskan saya menyudahi aktivitas menulis review ini.  Doakan semoga saya bisa konsisten sharing hal-hal yang berfaedah :3


Senin, 24 September 2018

Sendal Jepit


Quarter life crisis. Saya teringat sebuah game absurd yang sempat  ngetren beberapa waktu lalu. Seorang teman membuat postingan di WA storynya, dan menyatakan akan membuat impression jika postingan tersebut dibalas dengan “hey”.

Sebagai mahluk alay yang suka berinteraksi (Alias kurang kerjaan bales2in story orang), dengan gembira saya ikut memeriahkan game gak jelas itu. “Hey” *insert some guffaw emoticons *sent. Lalu terjadilah adegan bales-balesan chatt yang tida begitu penting.

Dan ternyata, sebelum diberikan impression, ada syarat yang  harus dilakukan yaitu menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya “Apa hal yang ingin kamu lakukan dalam 2 tahun kedepan?”
Tanpa berpikir panjang, saya menjawab “Hal yang ingin sekali saya lakukan adalah melanjutkan sekolah.”

Teman saya kaget “Woh, aku kira jawabannya menikah hahahaha” balasnya. Karena saya orangnya selow kayak sendal jepit, lagi-lagi guffaw emoticon jadi andalan “hahahaa, terserah Allah aja deh, mau diapakan hambaNya ini” Jawab saya pasrah.

Sejenak saya jadi mikir, manusia yang gak kepikiran menikah di usia seperempat abad macam saya ini normal-normal aja kan?

Pikiran saya nyaris kacau disesaki pertanyaan dan pernyataan seputar pernikahan yang pernah saya terima dari orang-orang terdekat “jadi kapan nih nyusul, Ri?” “Jangan kebanyakan baca buku Ri, sampe lupa nikah” “Kasian yang pada nunggu Ri!” “Ri, mau dicariin calon suami?” “Ingat umur Ri”. *hmmmm Auto Nisa Sabyan*.

Tiba-tiba ingatan saya lalu bertualang ke kejadian penolakan ajakan menikah beberapa manusia sholeh karena ketidaksiapan mental saya, yang kemudian berlanjut menjadi drama Riri tidak punya perasaan. Haissh. No komen. Kacau. Sebisa mungkin saya meyakinkan diri, bahwa tidak ada yang salah dengan prinsip dan pendirian hidup saya.

Saya terlalu malas untuk menjawab pertanyaan orang tentang alasan mengapa tidak terbesit sedikitpun keinginan untuk menikah saat ini. Yang perlu orang ketahui, dan sudah seharusnya tahu, bahwa Allah sudah menetapkan jalan hidup kita sesuai skenario-Nya. Jadi, tidak penting untuk mengusik hidup orang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berbobot tentang pernikahan. Control your curiousity, darling. Plis berhentilah memaksakan standar hidup yang kita buat untuk kehidupan orang lain!

Tidak masalah dibilang kelewat independent selama kita happy dan tidak merugikan orang lain dalam bentuk materi. Bagi saya, menjadikan alasan di luar kendali diri untuk menemukan kebahagian adalah sebuah ironi. Belajarlah mencintai diri sendiri, tingkatkan kualitas diri dan jadilah spesial. Especially dalam pandangan Pencipta kita. Saya menganggap sesuatu yang terjadi di luar diri, seperti halnya hubungan antara sesama manusia baik itu teman, keluarga, ataupun tentang pasangan hidup, tidak lebih dari sekedar perangkat-perangakt ibadah, yang muaranya kembali pada menjadi manusia spesial.

Agak mengenaskan sih kalau sampai kita menjadikan perhatian dan perlakuan orang lain sebagai sumber kebahagiaan. Sebab itu, penting untuk mengenali diri dengan perbanyak mengajaknya berinteraksi alias ngobrol sama diri sendiri. Berpikir dan mengendalikan pikiran adalah koentji, guys. Bukankah  kita tidak bisa membahagiakan orang lain jika diri sendiri saja tidak bisa kita bahagiakan? *Jawab pak Eko!

Silahkan saja kalau mau berpikiran bahwa saya terlalu overrated terhadap penilaian diri dan mengesampingkan aspek maslahat lainnya dalam memutuskan untuk menikah. Sayapun tidak memaksakan orang lain harus berpikiran sama seperti saya.

Sebagai manusia beriman, sudah menjadi kewajiban saya untuk percaya dan memasrahkan masa depan saya sama Allah. Dan, ketidaksiapan mental yang saya alami saat inipun, saya rasa adalah bagian dari ketetapanNya. Tugas saya sekarang hanyalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri untuk masa depan yang sesuai ekspetasi saya, dan menyiapkannya sesiap-siapnya untuk  menjemput takdir Allah.

Tulisan ini tidak lebih dari sekedar curhat, karena akika sudah terlalu lelah menghadapi badai pertanyaan yang kebanyakan lebih seperti mengintimidasi. Yang membaca tidak perlu sepakat dengan pemikiran  saya. Cukup bantu saya menyudahi pegal-pegal di otak dan hati ini. Bisa kan?

Jumat, 21 September 2018

PARODIA



Parodia adalah antologi cerpen ketiga yang saya baca setelah “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan” karya Oki Mandasari, dan “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” karya Eka Kurniawan.

Sebagai seorang maniak buku yang tidak begitu bisa menikmati karya sastra (otak hamba agak kurang nendang dan cenderung lemot buat menyerap makna dalam tiap karya sastra, maapkeun), review buku kali ini mungkin banyak biasnya. Apalagi, sebelumnya memang saya belum pernah sama sekali membaca tulisan-tulisan sang penulis yang bertebaran di banyak media daring. *menyesal akutuh, kok bisa sih baru kenal orang se kece mba Isti L *

Baik, mari langsung saja bahas karya mba Isti. Keburu dingin entar buburnya, eh buku..

Pertama, saya mau berterima kasih  karena telah dikenalkan dengan “Parodia”. Sebuah kata yang masih asing, yang dalam buku ini sangat jelas tergambarkan definisinya yang lebih dari sekedar tanaman kaktus yang indah.

Membaca buku ini adalah sebuah petualangan menakjubkan. Suguhan kisah-kisah yang tidak biasa, mengajak pikiran saya bertamasya, menelusuri hidup para perempuan tangguh yang terlahir dari takdir yang “mengenaskan”.

Seperti yang saya katakan di awal, bahwa saya tidak begitu pintar untuk menangkap gagasan yang ingin disampaikan oleh mba Isti dalam buku ini. Saya memaknai buku ini sesuai kapasitas dan pengalaman interaksi yang sangat terbatas.

Bagi saya, tiap cerita dalam buku ini mempresentasikan kegigihan atas prinsip dari tokoh-tokohnya. Membuka cakrawala terhadap realita yang kerap dihindari sebagai materi pelajaran dalam sekolah kehidupan, yang bernafas surealis.

Parodia mengajarkan saya, bahwa penilaian terhadap harga diri tidak bisa dipandang dari status sosial seseorang. Saya juga dapat merasakan betapa indahnya kombinasi dari sebuah kerelaan, ketulusan, dan keihklasan, yang diajarkan oleh tokoh Aku dalam cerita Kebun Cinta. Lalu pelajaran dari Muning dan Felix, bahwa berbeda keyakinan tidak menjadikan manusia tidak dapat saling jatuh cinta. Ketetapan Tuhan harus dijalankan, namun perbedaan harus diterima. Begitupun dengan kehadiran cinta yang tidak dikehendaki. 

Dalam cerita Mendayung Gelombang, saya kembali diingatkan tentang fenomena sosial budaya patriarki yang masih sering dijumpai. Lalu cerita Rere, gadis malang yang jadi korban atas kekeliruan manusia dalam menerjemahkan fungsi indra penglihatannya. Kisah Rere adalah sebuah refleksi kehidupan sosial kita dewasa ini. Literasi yang kurang, menyebabkan kita mudah sekali membuat kesimpulan atas hal-hal yang tidak kita pahami. Orang lain yang salah, tetapi Rere yang lemah tidak punya pilihan selain pasrah.

Menjawab pertanyaan dari penulis di pengantar buku ini. Apakah setelah membaca saya menjadi tercerahkan, atau justru resah dan gelisah? 

Saya mengalami keduanya. Buku ini dibaca dua kali sebelum akhirnya saya berani untuk menulis reviewnya. Kali pertama saya sangat resah karena menemukan cukup banyak kesalahan dalam penulisan (dadah-dadah ke penerbit stelkendocreative). Dan yang kedua kali, saya jatuh cinta. Mba Isti, ketemuan lagi, yuk :) 


Jumat, 25 November 2016

Wahai Netyjen!

Dunia kini sudah bertransformasi menjadi serba digital. Untuk mendapatkan perkembangan informasi dan berita-berita terupdate, sebagaian besar orang sudah beralih ke media elektronik daripada media cetak.

Bagi siapapun yang aktif menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi atau sekedar ruang untuk sebuah eksistensi, tak jarang kita menemukan berbagai fenomena yang mengajak kita untuk ikut bereaksi.

Aktivitas scroll up scroll down  hampir menjadi rutinitas  sehari-hari yang sangat mudah menyebabkan kita terseret derasnya arus informasi. Mulai dari postingan status-status tanpa arti, gambar-gambar islami yang memotivasi, maraknya akun-akun promosi, berita hoax yang bikin frustasi, hingga tulisan-tulisan yang membangun opini.

Dari media sosial, banyak sekali pengetahuan-pengetahuan baru dapat kita peroleh. Mulai dari berita  teramat tidak penting  Saipul Jamil masuk penjara, hingga LGBT yang menyangkut martabat Negara.

Perlu disadari,  bahwa berbagai  informasi yang kita dapatkan di media sosial, tidak semuanya penting untuk kita ketahui.  Ada informasi yang sifatnya memang must to know dan hanya nice to know. Sistem filter terhadap informasi yang kita terima harus bekerja semaksilmal mungkin agar terhindar dari pengaruh negatif media sosial.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan sedikit kesoktahuan saya tentang bagaimana  menjadi pengguna media sosial yang bahagia. Bagi saya, walaupun sekedar dijadikan sebagai hiburan semata, namun  penting untuk mengelola media sosial yang  kita miliki secara bijak agar kita tidak turut serta menjadi korban dari efek negatifnya.

Pertama, apapun jenis platform media sosial yang kita gunakan, kecerdasan dalam menentukan siapa saja akun yang menjadi teman atau following adalah hal yang paling penting. Tab Home/Timeline akan menjadi bagian yang paling sering diakses saat berselancar ke dunia maya, sehingga memilih orang/akun yang tepat sebagai teman/following di media sosial akan menciptakan ruang bersosialisasi yang  informatif, komunikatif, dan lebih positif.

Kedua, jangan mudah percaya dan mengamini setiap informasi yang diterima. Banyak sekali informasi adu domba ataupun hoax disebarkan oleh oknum-oknum provokatif dan clicking monkeys. Seorang pengguna media sosial harus mampu mengendalikan diri agar tidak  menjadi bagain dari target operasi penjahat bersenjata jari ini, dan harus menjadi komunikan yang kritis dengan mengklarifikasi setiap informasi yang diterima agar tidak mudah ditipu dan tidak ikut-ikutan menyebarluaskan informasi yang menyesatkan.

Ketiga, ini adalah tentang sikap. Selain berupaya untuk terhindar dari pengaruh buruk sosial, seorang pengguna media sosial juga perlu mengkondisikan diri untuk menjadi warga dunia maya yang baik. Menjaga sikap bukanlah soal pencitraan, karena berakhlak baik dianjurkan tidak hanya untuk diterapkan di dunia nyata melainkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Seorang pengguna media sosial harus tetap menjaga sikap meskipun aktivitasnya sebatas update post dan reply comment.

Sikap menjadi hal penting yang perlu diperhatikan karena sering sekali kita menemukan orang-orang kebablasan berekspresi di media sosial. Terlepas dari siapa yang paling pintar dan siapa yang paling sombong, hanya karena tidak saling bertatap muka, pemilihan kata-kata dalam menyampaikan argumen di media sosial kerap tidak diperhatikan dan cenderung disepelekan, sehingga cyber harrasment, cyber bullying dan cyber crime terjadi  hampir setiap saat di berbagai sudut kota hingga pelosok nusantara.

Terakhir, kurangi tingkat ke-baper-an serta kebiasaan berburuk sangka. Poin ini tidak dikhususkan untuk dunia maya saja namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa kejadian yang saya amati, baper dan negative thinking adalah sebuah siklus asal muasal dari masalah perang komen alias tubir yang sering kita temui di media sosial. 

Kenapa bisa? Ya itu tadi, karena bentuk tulisan dan postingan yang bertebaran di media sosial itu multitafsir tergantung siapa yang membaca dan melihat, sehingga sangat mudah menyebabkan orang baper dan negative thinking. Orang baperan dan negative thinking itu seharusnya tidak layak jadi pengguna media sosial! (siape elu Rii??)

Perlu disadari bahwa seburuk-buruknya seseorang dan sebenci-bencinya kita terhadap orang itu, pasti ada setitik kebaikan dalam dirinya yang tidak kita ketahui. Tanpa ada usaha untuk berpikir positif terhadap hal yang memang buruk sekalipun, semangat untuk menciptakan perbaikan takkan pernah  bisa kita lakukan. *sebuah paragraf kurang nyambung tp gpp*

Tidak jarang kita melihati seseorang dalam kondisi tidak baik alias galau mengekspresikan pikiran dan perasaanya lewat postingan-postingan yang sebenarnya hanya memperlihatkan kelemahan dirinya.
Tidak jarang kita melihat seseorang yang gemar mencari kesalahan orang lain melakukan aksi saling sindir menyindir yang sebenarnya hanya memperlihatkan betapa buruk kualitas berpikirnya.
Dan tidak jarang pula  kita melihat sebuah tulisan panjang nan lebar yang kebermanfaatnya masih diragukan seperti dihadapan anda saat ini.

Mungkin ini adalah bentuk  ekspresi kegalauan si mbak yang nulis. Mohon dimaafkan jika yang membaca kurang berkenan. Saya Cuma pengen bilang, dalam bersosial  media  tidak diharuskan menjadi pengguna yang selalu tampil menebar kebaikan dan berbagi inspirasi, itu terlalu idealis. Cukup dengan mengendalikan jari saja untuk tidak saling menyakiti.
Jangan baper!


April 2016. Di suatu sudut kota Malang

Selasa, 19 Juli 2016

Any Body Home?

Sudah sekitar empat bulanan saya samaskali tidak memposting apapun di blog ini. Sebagaimana rumah yang lama tak dikunjungi, tentu saya sangat merindukan laman tempat saya mendokumentasikan rasa, ide dan sikap ini. Jadi sebelum nulis panjang lebar, saya mau menyapa unyu blog ini dulu ya

ha loo .... *krik-krik*

Dah ah..
Selama lebih kurang empat bulanan ini, banyak banget sebenernya hal yang pengen saya tulis dan post di sini. Tapi, karena sebuah alasan yang saya terlalu benci untuk mengutarakannya, topik-topik itu nggak jadi saya tulis dalam masing-masing postingan, dan akan saya rapel dalam postingan edisi rindu kali ini  *pasang ikat kepala*

Here we go!!!

Dimulai dari bulan April. Jadi, pada tanggal 20-25, salah satu organisasi yang saya ikuti dimalang mengadakan sebuah pelatihan kepemudaan tingkat nasional. Pada kegiatan ini, saya diamanahkan mejadi tim komisi disiplin dalam perangkat kepanitiaan. Wow, unbelievable. Makhluk serapuh saya ini diminta untuk mendisiplinkan peserta pelatihan yang sangat mungkin jauh lebih disiplin dari saya. They are really kidding me i thought.

Saya lalu bergalau ria antara menerima atau tidak. Pikiran saya nyaris kacau, memikirkan amanah yang sangat tidak biasa ini. Kalo bisa milih mending jadi ketua pelaksana sekalian deh daripada diminta kadi komdis. Ketahuilah, beban yang menurut saya teramat berat ini bukan karena jobdesk membangunkan peserta pukul 01.30 dini hari kemudian mengevaluasi hingga pukul 03.30 setiap harinya selama 4 hari. Bukan tentang upaya-upaya merubah  orang menjadi dispilin  yang agak mustahil dilakukan dalam waktu 4 hari. Dan bukan pula karena takut akan perubahan siklus biologi saya yang akan menyamai kelelawar nanti.

Hanya karena satu hal.  Beban amanah jadi komdis menurut saya teramat dekat dengan predikat munafik. 

Selang beberapa hari menggalau dengan sedikit drama, akhirnya saya membuat sebuah keputusan. Inna a’malu binniati. Saya meyakinkan diri bahwa saya diberi tanggung jawab bukan karena kemauan saya tapi karena saya dipercaya dan insya Allah dapat diandalkan. Tidakkah ini adalah kesempatan yang baik untuk memantaskan diri menjadi sebenar-benarnya manusia yang disiplin? Tidakkah ini menjadi sebuah peluang untuk turut serta dalam lomba menuju kebaikan? Bismillah I can do it. mari memulai amanah ini dengan memantaskan diri sebagai seorang evaluator *tapi tetap saja nggak terlalu pantas hiks*.

Menyadari bahwa dengan senjata lidah yang tajamnya akan menyayat hati dan peluru kata yang dapat menembus jantung bagi mereka yang akan dievaluasi, sekiranya ini akan menjadi sebuah pengingat yang mematikan  jika saja saya diuji dengan kadar iman yang terjun bebas suatu hari nanti. Naudzubillah min dzalik.

Well, saya dan tim komdis dengan segenap masalah yang kami punya, berhasil mengeksekusi tugas kami dengan baik. Wallahu alam dengan keadaan diri kami masing-masing  yang tak luput dari kalimat istighfar tiap menitnya. 

Tanggal 20-25 April 2016 menjadi empat hari yang benar-benar menguras  tenaga, emosi, pikiran, dan isi dompet tentunya. Dengan kondisi fisik yang sangat sangat rapuh ini, rasanya memang predikat “sok kuat” dari seorang sahabat terlihat pantas dinobatkan pada diri saya.

Pada suatu hari dalam empat hari tersebut, saya harus memaksakan diri  untuk tetap ON selama 24 jam karena terhimpit agenda yang  berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Well, saya benar-benar tidak punya pilhan untuk tidur meski sejam dan mencoba untuk bertahan melewati semua rintangan *le bay Riii*

Hari itu adalah tanggal 22 April. 24 Jam pada hari jumat tersebut terasa seperti hadiah dari Allah. Rasa lelah yang saya rasakan kiranya tak sebanding dengan perasaan bahagia.  Bagaimana tidak, 24 jam pada hari itu terasa sungguh sangat produktif. Sebuah kesempatan berharga bagi saya untuk menjadi sebaik-baik manusia, dengan bermanfaat bagi orang lain. Tidak perlu saya  tuliskan disini apa saja agenda dalam 24 jam itu, bercerita seperti ini saja sudah cukup untuk menjadikan saya manusia yang luar biasa riya wkwkw.

Kemudian, sebuah ujianpun datang (lagi). Seminggu setelah perhelatan akbar agenda Pelatihan Pemuda tersebut, saya kembali jatuh sakit sesuai dengan prediksi mereka yang cukup mengenal bahwa musuh terbesar bagi benteng pertahanan kesehatan saya adalah rasa lelah.  Bukan hal yang langka memang. Bahkan, saya nyaris terbiasa dengan keadaan seperti ini. Yeah, i had been making a shit deal with it.

Demi tidak merusak salah satu resolusi di tahun 2016 ini, yaitu tidak kembali dirawat di Rumah Sakit, saya berusaha semaksimal mungkin, dengan sedikit  ilmu yang saya miliki sebagai mahasiswa fakultas kedokteran, untuk menyembuhkan diri tanpa harus ke Rumah Sakit. Tiga hari berturut-turut saya diserang demam tinggi dengan komplikasi batuk yang bisa dibilang sangat parah. Obat yang saya konsumsi tak mampu menstabilkan kembali kondisi badan saya. Hingga akhirnya saya harus melantunkan sebuah lagu milik Celine Dion, I surrender

*Welcome back to hospital*

Berbeda dengan sebelumnya ketika saya menjalani rawat inap dengan diagnosa penyakit yang tak seberapa, kali ini saya harus berusaha menguatkan diri dengan diagnosa penyakit yang  pernah menjadi salah satu kasus yang saya tangani saat menjalani prkatik di salah satu rumah sakit di Malang. Bronkitis. 

Walaupun agak menyedihkan, saya masih merasa beruntung karena penyakit ini masih dalam fase yang dapat disembuhkan apabila mendapat penanganan yang tepat. Tentu saja saya optimis bisa kembali sehat dan bisa say good bye pada penyakit radang paru-paru ini. Ulasan mengenai bronkitis, akan saya bahas lebih detail di postingan lain.

Kurang lebih saya menjalani perawatan selama 7 hari di rumah sakit. Dan karena kondisi yang masih belum fit meski sudah diizinkan pulang sama dokter, saya akhirnya memutuskan untuk pulang ke home sweet home agar bisa lebih maksimal menjalani proses recovery. Well, dengan kembalinya saya ke rumah di kampung, alhamdulillah kondisi saya saat ini kembali membaik. Tinggal satu tahap lagi untuk menang melawan musuh sekaligus guru dalam hidup yang singkat ini.

kemudiaan......

Udahan ah curhatnya. *lepas ikat kepala kemudian teler*


Minggu, 17 April 2016

Merenung


Memiliki karakter  yang  tidak begitu feminim seperti kebanyakan  perempuan membuat saya sering merenung akhir-akhir ini. Masa saya akan terus seperti ini sampe ajal datang sih.  Sampe kapan saya menjadi manusia yang kalo ngomong suka bikin orang lain terintimidasi? Sampe kapan saya menjadi manusia yang terlalu berlogika dan terus-terusan mengesampingkan perasaan? Sampe kapan saya harus dianggap manusia yang tidak enak di ajak ngobrol seputar permasalahan hati? Sampe kapan saya menjadi manusia yang kalo marah bisa membahayakan harga diri orang yang menyebabkan saya marah? Sampe kapaan?

Saya benci menjadi orang yang perfeksionis. Standar hidup yang saya buat terhadap sebuah pencapaian terlalu tinggi. Ekpetasi saya terhadap orang lain sangat berlebihan. Saya nyaris selalu menuntut  kesempurna terhadap tanggung jawab yang diberikan orang lain. Hasilnya? Tentu saja saya menuai kecewa. Salah siapa? Tentu salah saya yang terlalu idealis.

Mereka yang berharap dimengerti karena terbiasa lalai dan menganggap maaf dapat memperbaiki segalanya, menganggap saya adalah musuh terbesar yang harus diwaspadai. Saya memang manusia yang tidak pantas diberikan tanggung jawab dalam bentuk tim yang mana orang-orangnya tidak se ambisius saya. Mereka pasti akan tersiksa jika harus bekerja sama dengan manusia yang banyak menuntut dan sangat nggak selow ini. 

Bukan apa-apa dan saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Seperti yang saya bilang diatas, ini adalah salah saya yang terlalu idealis. Saya menulis ini selain untuk kepentingan curhat, saya juga berharap dapat menemukan solusi atas permasalahan klasik yang sering saya temui dalam kepengurusan/ kepanitiaan sekelompok orang yang terbiasa dengan manajemen by sorry ini. 

Mungkin Allah sedang sayang-sayangya dan cinta-cintanya sama saya sehingga lewat saudara-saudara ini   Allah menguji saya.

Jika memang sudah sebegitu tidak memungkinkan berharap saudara-saudara saya itu bisa seperti maunya saya, maka saya yang harus memaksa diri saya untuk memahami mereka dan tetap berprasangka baik. Saya harus ingat bahwa kesempurnaan, kesuksesan,  kebahagiaan, bukan tujuan utama yang harus saya capai dalam hidup ini. Berkah, itu yang jadi tujuan utama.

Buat apa mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekspetasi saya kalo ujung-ujungnya berkahnya hanya sedikit atau bahkan tidak berkah? Buat apa saya menyiksa batin kalo ujung-ujungnya lelah yang saya rasakan justru berbuah dosa? 

Rugi bandar ciin.

Ditulis dalam keadaan kesal dan akhirnya bisa tersenyum kembali
:)