Jumat, 21 September 2018

PARODIA



Parodia adalah antologi cerpen ketiga yang saya baca setelah “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan” karya Oki Mandasari, dan “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” karya Eka Kurniawan.

Sebagai seorang maniak buku yang tidak begitu bisa menikmati karya sastra (otak hamba agak kurang nendang dan cenderung lemot buat menyerap makna dalam tiap karya sastra, maapkeun), review buku kali ini mungkin banyak biasnya. Apalagi, sebelumnya memang saya belum pernah sama sekali membaca tulisan-tulisan sang penulis yang bertebaran di banyak media daring. *menyesal akutuh, kok bisa sih baru kenal orang se kece mba Isti L *

Baik, mari langsung saja bahas karya mba Isti. Keburu dingin entar buburnya, eh buku..

Pertama, saya mau berterima kasih  karena telah dikenalkan dengan “Parodia”. Sebuah kata yang masih asing, yang dalam buku ini sangat jelas tergambarkan definisinya yang lebih dari sekedar tanaman kaktus yang indah.

Membaca buku ini adalah sebuah petualangan menakjubkan. Suguhan kisah-kisah yang tidak biasa, mengajak pikiran saya bertamasya, menelusuri hidup para perempuan tangguh yang terlahir dari takdir yang “mengenaskan”.

Seperti yang saya katakan di awal, bahwa saya tidak begitu pintar untuk menangkap gagasan yang ingin disampaikan oleh mba Isti dalam buku ini. Saya memaknai buku ini sesuai kapasitas dan pengalaman interaksi yang sangat terbatas.

Bagi saya, tiap cerita dalam buku ini mempresentasikan kegigihan atas prinsip dari tokoh-tokohnya. Membuka cakrawala terhadap realita yang kerap dihindari sebagai materi pelajaran dalam sekolah kehidupan, yang bernafas surealis.

Parodia mengajarkan saya, bahwa penilaian terhadap harga diri tidak bisa dipandang dari status sosial seseorang. Saya juga dapat merasakan betapa indahnya kombinasi dari sebuah kerelaan, ketulusan, dan keihklasan, yang diajarkan oleh tokoh Aku dalam cerita Kebun Cinta. Lalu pelajaran dari Muning dan Felix, bahwa berbeda keyakinan tidak menjadikan manusia tidak dapat saling jatuh cinta. Ketetapan Tuhan harus dijalankan, namun perbedaan harus diterima. Begitupun dengan kehadiran cinta yang tidak dikehendaki. 

Dalam cerita Mendayung Gelombang, saya kembali diingatkan tentang fenomena sosial budaya patriarki yang masih sering dijumpai. Lalu cerita Rere, gadis malang yang jadi korban atas kekeliruan manusia dalam menerjemahkan fungsi indra penglihatannya. Kisah Rere adalah sebuah refleksi kehidupan sosial kita dewasa ini. Literasi yang kurang, menyebabkan kita mudah sekali membuat kesimpulan atas hal-hal yang tidak kita pahami. Orang lain yang salah, tetapi Rere yang lemah tidak punya pilihan selain pasrah.

Menjawab pertanyaan dari penulis di pengantar buku ini. Apakah setelah membaca saya menjadi tercerahkan, atau justru resah dan gelisah? 

Saya mengalami keduanya. Buku ini dibaca dua kali sebelum akhirnya saya berani untuk menulis reviewnya. Kali pertama saya sangat resah karena menemukan cukup banyak kesalahan dalam penulisan (dadah-dadah ke penerbit stelkendocreative). Dan yang kedua kali, saya jatuh cinta. Mba Isti, ketemuan lagi, yuk :) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar