Quarter life crisis. Saya teringat sebuah game absurd yang sempat ngetren beberapa
waktu lalu. Seorang teman membuat postingan di WA storynya, dan menyatakan akan
membuat impression jika postingan tersebut dibalas dengan “hey”.
Sebagai
mahluk alay yang suka berinteraksi (Alias kurang kerjaan bales2in story orang),
dengan gembira saya ikut memeriahkan game gak jelas itu. “Hey” *insert some
guffaw emoticons *sent. Lalu terjadilah adegan bales-balesan chatt yang tida
begitu penting.
Dan ternyata,
sebelum diberikan impression, ada syarat yang harus dilakukan yaitu menjawab beberapa pertanyaan,
diantaranya “Apa hal yang ingin kamu lakukan dalam 2 tahun kedepan?”
Tanpa
berpikir panjang, saya menjawab “Hal yang ingin sekali saya lakukan adalah melanjutkan
sekolah.”
Teman saya
kaget “Woh, aku kira jawabannya menikah hahahaha” balasnya. Karena saya
orangnya selow kayak sendal jepit, lagi-lagi guffaw emoticon jadi andalan
“hahahaa, terserah Allah aja deh, mau diapakan hambaNya ini” Jawab saya pasrah.
Sejenak
saya jadi mikir, manusia yang gak kepikiran menikah di usia seperempat abad macam
saya ini normal-normal aja kan?
Pikiran saya nyaris kacau disesaki pertanyaan dan pernyataan seputar pernikahan yang pernah saya terima dari orang-orang
terdekat “jadi kapan nih nyusul, Ri?” “Jangan kebanyakan baca buku Ri, sampe
lupa nikah” “Kasian yang pada nunggu Ri!” “Ri, mau dicariin calon suami?” “Ingat
umur Ri”. *hmmmm Auto Nisa Sabyan*.
Tiba-tiba ingatan saya
lalu bertualang ke kejadian penolakan ajakan menikah beberapa manusia sholeh karena
ketidaksiapan mental saya, yang kemudian berlanjut menjadi drama Riri tidak
punya perasaan. Haissh. No komen. Kacau. Sebisa mungkin saya meyakinkan diri, bahwa
tidak ada yang salah dengan prinsip dan pendirian hidup saya.
Saya terlalu
malas untuk menjawab pertanyaan orang tentang alasan mengapa tidak terbesit
sedikitpun keinginan untuk menikah saat ini. Yang perlu orang ketahui, dan
sudah seharusnya tahu, bahwa Allah sudah menetapkan jalan hidup kita sesuai
skenario-Nya. Jadi, tidak penting untuk mengusik hidup orang dengan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak berbobot tentang pernikahan. Control
your curiousity, darling. Plis berhentilah memaksakan standar hidup yang
kita buat untuk kehidupan orang lain!
Tidak
masalah dibilang kelewat independent selama kita happy dan tidak merugikan
orang lain dalam bentuk materi. Bagi saya, menjadikan alasan di luar kendali
diri untuk menemukan kebahagian adalah sebuah ironi. Belajarlah mencintai diri
sendiri, tingkatkan kualitas diri dan jadilah spesial. Especially dalam pandangan Pencipta kita. Saya menganggap sesuatu
yang terjadi di luar diri, seperti halnya hubungan antara sesama manusia baik
itu teman, keluarga, ataupun tentang pasangan hidup, tidak lebih dari sekedar
perangkat-perangakt ibadah, yang muaranya kembali pada menjadi manusia spesial.
Agak
mengenaskan sih kalau sampai kita menjadikan perhatian dan perlakuan orang lain
sebagai sumber kebahagiaan. Sebab itu, penting untuk mengenali diri dengan
perbanyak mengajaknya berinteraksi alias ngobrol sama diri sendiri. Berpikir
dan mengendalikan pikiran adalah koentji, guys.
Bukankah kita tidak bisa membahagiakan orang
lain jika diri sendiri saja tidak bisa kita bahagiakan? *Jawab pak Eko!
Silahkan
saja kalau mau berpikiran bahwa saya terlalu overrated terhadap penilaian diri
dan mengesampingkan aspek maslahat lainnya dalam memutuskan untuk menikah. Sayapun
tidak memaksakan orang lain harus berpikiran sama seperti saya.
Sebagai manusia
beriman, sudah menjadi kewajiban saya untuk percaya dan memasrahkan masa depan
saya sama Allah. Dan, ketidaksiapan mental yang saya alami saat inipun, saya
rasa adalah bagian dari ketetapanNya. Tugas saya sekarang hanyalah memperbaiki dan
meningkatkan kualitas diri untuk masa depan yang sesuai ekspetasi saya, dan
menyiapkannya sesiap-siapnya untuk menjemput takdir Allah.
Tulisan
ini tidak lebih dari sekedar curhat, karena akika sudah terlalu lelah menghadapi badai
pertanyaan yang kebanyakan lebih seperti mengintimidasi. Yang membaca tidak
perlu sepakat dengan pemikiran saya. Cukup bantu saya menyudahi
pegal-pegal di otak dan hati ini. Bisa kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar