Senin, 24 September 2018

Sendal Jepit


Quarter life crisis. Saya teringat sebuah game absurd yang sempat  ngetren beberapa waktu lalu. Seorang teman membuat postingan di WA storynya, dan menyatakan akan membuat impression jika postingan tersebut dibalas dengan “hey”.

Sebagai mahluk alay yang suka berinteraksi (Alias kurang kerjaan bales2in story orang), dengan gembira saya ikut memeriahkan game gak jelas itu. “Hey” *insert some guffaw emoticons *sent. Lalu terjadilah adegan bales-balesan chatt yang tida begitu penting.

Dan ternyata, sebelum diberikan impression, ada syarat yang  harus dilakukan yaitu menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya “Apa hal yang ingin kamu lakukan dalam 2 tahun kedepan?”
Tanpa berpikir panjang, saya menjawab “Hal yang ingin sekali saya lakukan adalah melanjutkan sekolah.”

Teman saya kaget “Woh, aku kira jawabannya menikah hahahaha” balasnya. Karena saya orangnya selow kayak sendal jepit, lagi-lagi guffaw emoticon jadi andalan “hahahaa, terserah Allah aja deh, mau diapakan hambaNya ini” Jawab saya pasrah.

Sejenak saya jadi mikir, manusia yang gak kepikiran menikah di usia seperempat abad macam saya ini normal-normal aja kan?

Pikiran saya nyaris kacau disesaki pertanyaan dan pernyataan seputar pernikahan yang pernah saya terima dari orang-orang terdekat “jadi kapan nih nyusul, Ri?” “Jangan kebanyakan baca buku Ri, sampe lupa nikah” “Kasian yang pada nunggu Ri!” “Ri, mau dicariin calon suami?” “Ingat umur Ri”. *hmmmm Auto Nisa Sabyan*.

Tiba-tiba ingatan saya lalu bertualang ke kejadian penolakan ajakan menikah beberapa manusia sholeh karena ketidaksiapan mental saya, yang kemudian berlanjut menjadi drama Riri tidak punya perasaan. Haissh. No komen. Kacau. Sebisa mungkin saya meyakinkan diri, bahwa tidak ada yang salah dengan prinsip dan pendirian hidup saya.

Saya terlalu malas untuk menjawab pertanyaan orang tentang alasan mengapa tidak terbesit sedikitpun keinginan untuk menikah saat ini. Yang perlu orang ketahui, dan sudah seharusnya tahu, bahwa Allah sudah menetapkan jalan hidup kita sesuai skenario-Nya. Jadi, tidak penting untuk mengusik hidup orang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berbobot tentang pernikahan. Control your curiousity, darling. Plis berhentilah memaksakan standar hidup yang kita buat untuk kehidupan orang lain!

Tidak masalah dibilang kelewat independent selama kita happy dan tidak merugikan orang lain dalam bentuk materi. Bagi saya, menjadikan alasan di luar kendali diri untuk menemukan kebahagian adalah sebuah ironi. Belajarlah mencintai diri sendiri, tingkatkan kualitas diri dan jadilah spesial. Especially dalam pandangan Pencipta kita. Saya menganggap sesuatu yang terjadi di luar diri, seperti halnya hubungan antara sesama manusia baik itu teman, keluarga, ataupun tentang pasangan hidup, tidak lebih dari sekedar perangkat-perangakt ibadah, yang muaranya kembali pada menjadi manusia spesial.

Agak mengenaskan sih kalau sampai kita menjadikan perhatian dan perlakuan orang lain sebagai sumber kebahagiaan. Sebab itu, penting untuk mengenali diri dengan perbanyak mengajaknya berinteraksi alias ngobrol sama diri sendiri. Berpikir dan mengendalikan pikiran adalah koentji, guys. Bukankah  kita tidak bisa membahagiakan orang lain jika diri sendiri saja tidak bisa kita bahagiakan? *Jawab pak Eko!

Silahkan saja kalau mau berpikiran bahwa saya terlalu overrated terhadap penilaian diri dan mengesampingkan aspek maslahat lainnya dalam memutuskan untuk menikah. Sayapun tidak memaksakan orang lain harus berpikiran sama seperti saya.

Sebagai manusia beriman, sudah menjadi kewajiban saya untuk percaya dan memasrahkan masa depan saya sama Allah. Dan, ketidaksiapan mental yang saya alami saat inipun, saya rasa adalah bagian dari ketetapanNya. Tugas saya sekarang hanyalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri untuk masa depan yang sesuai ekspetasi saya, dan menyiapkannya sesiap-siapnya untuk  menjemput takdir Allah.

Tulisan ini tidak lebih dari sekedar curhat, karena akika sudah terlalu lelah menghadapi badai pertanyaan yang kebanyakan lebih seperti mengintimidasi. Yang membaca tidak perlu sepakat dengan pemikiran  saya. Cukup bantu saya menyudahi pegal-pegal di otak dan hati ini. Bisa kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar