Minggu, 30 September 2018

Para Priyayi



Para Priyayi adalah sebuah buku tua yang sudah lama sekali bertengger dalam rak buku di rumah bersama dengan sekumpulan koleksi LKS dari jaman saya SMP. Entah dari mana asalnya saya tidak begitu paham. Besar kemungkinan milik sepupu yang kuliah jurusan sejarah tidak sengaja ditinggal. 

Tau-tau saya merasa tertarik untuk membacanya (Pertama Tahun 2010 dan dibaca ulang pertengahan 2018). Dan setelah selesai membacanya, rasanya seperti ada energi baru, yang tidak saja meningkatkan semangat hidup tapi juga sedikit merubah saya dalam menyikapi berbagai dinamika kehidupan. Yup, buku ini bisa dibilang salah satu buku yang sangat berpengaruh dalam hidup saya.
Retrospeksi dari buku ini menjadi sebuah model sejarah yang berguna bagi kita saat ini yang sedang bergulat dengan zaman yang serba terhubung. Tokoh-tokoh dalam para priyayi bergulat dengan terbukanya pemikiran akibat persinggungan dengan bahasa dan budaya Belanda sebagaimana kita yang saat ini bergulat dengan keterhubungan global yang ditawarkan teknologi.

Buku ini menyajikan pelajaran manajemen konflik yang baik dengan latar belakang history secara mikroskopis, yang dipercantik dengan detail lanskap kultural Jawa yang sangat kental. Benturan paham dan gaya hidup antara islam abangan, santri, kolonial, komunisme, dan modernitas disajikan alami, mengalir tenang, dan tanpa penghakiman. Sungguh sebuah eksekusi penulisan yang sangat indah. Membacanya membuat saya tidak ingin cepat-cepat menyudahinya.

Dalam review ini saya tidak akan menjelaskan banyak tentang Para Priyayi itu sendiri.  Sederhananya, simpulan saya tentang priyayi dalam buku ini yaitu  suatu unit kelas kedudukan atas hierarki sosial di tengah masyarakat., yang mana mereka adalah sekelompok manusia yang terlahir dari dorongan batin dan perbuatan hati untuk selalu memberikan kontribusi lebih kepada masyarakat luas.

Yang paling membekas dalam ingatan saya ketika membaca buku ini adalah, sajian filosofi kehidupan bahwa status fana tentang reputasi, tidak akan dimiliki secara abadi. Yang kekal adalah kemauan untuk menjadi manusia yang memanusiakan. Manusia yang tumbuh baik dan berguna untuk sesama, seperti yang diajarkan oleh tokoh Lantip dan Sastrodarsono.

Masih banyak kekaguman yang terlalu panjang jika saya ulas satu-persatu. Buku ini seharusnya menjadi bacaan yang wajib karena mengandung banyak materi yang dapat meningkatkan EQ. Saking bagusnya cara Umar Kayam menuliskan buku ini, bagi yang tidak suka membacapun akan sangat mudah menyesuaikan diri atau bahkan jadi sangat suka membaca.

Sayangnya, buku paling rekomended ini sudah langka beredar di toko buku kekinian. Tapi tenang, buat teman-teman yang tidak ingin menyesal karena tidak membaca Para Priyayi bisa kepo tipis-tipis ke akun instagram @bukusayang dan @kumajas.jp

Ini ngapa endingnya jadi promo dah guwaaah. Sekian dulu ya review nanggung dari saya. Kepadatan jadwal hari senin mengharuskan saya menyudahi aktivitas menulis review ini.  Doakan semoga saya bisa konsisten sharing hal-hal yang berfaedah :3


1 komentar: