Para
Priyayi adalah sebuah buku tua yang sudah lama sekali bertengger dalam rak buku
di rumah bersama dengan sekumpulan koleksi LKS dari jaman saya SMP. Entah dari
mana asalnya saya tidak begitu paham. Besar kemungkinan milik sepupu yang
kuliah jurusan sejarah tidak sengaja ditinggal.
Tau-tau saya merasa tertarik
untuk membacanya (Pertama Tahun 2010 dan dibaca ulang pertengahan 2018). Dan setelah
selesai membacanya, rasanya seperti ada energi baru, yang tidak saja
meningkatkan semangat hidup tapi juga sedikit merubah saya dalam menyikapi
berbagai dinamika kehidupan. Yup, buku ini bisa dibilang salah satu buku yang
sangat berpengaruh dalam hidup saya.
Retrospeksi
dari buku ini menjadi sebuah model sejarah yang berguna bagi kita saat ini yang
sedang bergulat dengan zaman yang serba terhubung. Tokoh-tokoh dalam para priyayi bergulat
dengan terbukanya pemikiran akibat persinggungan dengan bahasa dan budaya Belanda
sebagaimana kita yang saat ini bergulat dengan keterhubungan global yang
ditawarkan teknologi.
Buku ini
menyajikan pelajaran manajemen konflik yang baik dengan latar belakang history secara
mikroskopis, yang dipercantik dengan detail lanskap kultural Jawa yang sangat
kental. Benturan paham dan gaya hidup antara islam abangan, santri, kolonial,
komunisme, dan modernitas disajikan alami, mengalir tenang, dan tanpa
penghakiman. Sungguh sebuah eksekusi penulisan yang sangat indah. Membacanya membuat
saya tidak ingin cepat-cepat menyudahinya.
Dalam review
ini saya tidak akan menjelaskan banyak tentang Para Priyayi itu sendiri. Sederhananya, simpulan saya tentang priyayi
dalam buku ini yaitu suatu unit kelas
kedudukan atas hierarki sosial di tengah masyarakat., yang mana mereka adalah sekelompok
manusia yang terlahir dari dorongan batin dan perbuatan hati untuk selalu memberikan
kontribusi lebih kepada masyarakat luas.
Yang
paling membekas dalam ingatan saya ketika membaca buku ini adalah, sajian
filosofi kehidupan bahwa status fana tentang reputasi, tidak akan dimiliki
secara abadi. Yang kekal adalah kemauan untuk menjadi manusia yang
memanusiakan. Manusia yang tumbuh baik dan berguna untuk sesama, seperti yang
diajarkan oleh tokoh Lantip dan Sastrodarsono.
Masih banyak
kekaguman yang terlalu panjang jika saya ulas satu-persatu. Buku ini seharusnya
menjadi bacaan yang wajib karena mengandung banyak materi yang dapat meningkatkan
EQ. Saking bagusnya cara Umar Kayam
menuliskan buku ini, bagi yang tidak suka membacapun akan sangat mudah
menyesuaikan diri atau bahkan jadi sangat suka membaca.
Sayangnya,
buku paling rekomended ini sudah langka beredar di toko buku kekinian. Tapi
tenang, buat teman-teman yang tidak ingin menyesal karena tidak membaca Para
Priyayi bisa kepo tipis-tipis ke akun instagram @bukusayang dan @kumajas.jp
Ini
ngapa endingnya jadi promo dah guwaaah. Sekian dulu ya review nanggung dari
saya. Kepadatan jadwal hari senin mengharuskan saya menyudahi aktivitas menulis review ini. Doakan semoga saya bisa konsisten sharing hal-hal yang berfaedah :3