Jumat, 25 November 2016

Wahai Netyjen!

Dunia kini sudah bertransformasi menjadi serba digital. Untuk mendapatkan perkembangan informasi dan berita-berita terupdate, sebagaian besar orang sudah beralih ke media elektronik daripada media cetak.

Bagi siapapun yang aktif menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi atau sekedar ruang untuk sebuah eksistensi, tak jarang kita menemukan berbagai fenomena yang mengajak kita untuk ikut bereaksi.

Aktivitas scroll up scroll down  hampir menjadi rutinitas  sehari-hari yang sangat mudah menyebabkan kita terseret derasnya arus informasi. Mulai dari postingan status-status tanpa arti, gambar-gambar islami yang memotivasi, maraknya akun-akun promosi, berita hoax yang bikin frustasi, hingga tulisan-tulisan yang membangun opini.

Dari media sosial, banyak sekali pengetahuan-pengetahuan baru dapat kita peroleh. Mulai dari berita  teramat tidak penting  Saipul Jamil masuk penjara, hingga LGBT yang menyangkut martabat Negara.

Perlu disadari,  bahwa berbagai  informasi yang kita dapatkan di media sosial, tidak semuanya penting untuk kita ketahui.  Ada informasi yang sifatnya memang must to know dan hanya nice to know. Sistem filter terhadap informasi yang kita terima harus bekerja semaksilmal mungkin agar terhindar dari pengaruh negatif media sosial.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan sedikit kesoktahuan saya tentang bagaimana  menjadi pengguna media sosial yang bahagia. Bagi saya, walaupun sekedar dijadikan sebagai hiburan semata, namun  penting untuk mengelola media sosial yang  kita miliki secara bijak agar kita tidak turut serta menjadi korban dari efek negatifnya.

Pertama, apapun jenis platform media sosial yang kita gunakan, kecerdasan dalam menentukan siapa saja akun yang menjadi teman atau following adalah hal yang paling penting. Tab Home/Timeline akan menjadi bagian yang paling sering diakses saat berselancar ke dunia maya, sehingga memilih orang/akun yang tepat sebagai teman/following di media sosial akan menciptakan ruang bersosialisasi yang  informatif, komunikatif, dan lebih positif.

Kedua, jangan mudah percaya dan mengamini setiap informasi yang diterima. Banyak sekali informasi adu domba ataupun hoax disebarkan oleh oknum-oknum provokatif dan clicking monkeys. Seorang pengguna media sosial harus mampu mengendalikan diri agar tidak  menjadi bagain dari target operasi penjahat bersenjata jari ini, dan harus menjadi komunikan yang kritis dengan mengklarifikasi setiap informasi yang diterima agar tidak mudah ditipu dan tidak ikut-ikutan menyebarluaskan informasi yang menyesatkan.

Ketiga, ini adalah tentang sikap. Selain berupaya untuk terhindar dari pengaruh buruk sosial, seorang pengguna media sosial juga perlu mengkondisikan diri untuk menjadi warga dunia maya yang baik. Menjaga sikap bukanlah soal pencitraan, karena berakhlak baik dianjurkan tidak hanya untuk diterapkan di dunia nyata melainkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Seorang pengguna media sosial harus tetap menjaga sikap meskipun aktivitasnya sebatas update post dan reply comment.

Sikap menjadi hal penting yang perlu diperhatikan karena sering sekali kita menemukan orang-orang kebablasan berekspresi di media sosial. Terlepas dari siapa yang paling pintar dan siapa yang paling sombong, hanya karena tidak saling bertatap muka, pemilihan kata-kata dalam menyampaikan argumen di media sosial kerap tidak diperhatikan dan cenderung disepelekan, sehingga cyber harrasment, cyber bullying dan cyber crime terjadi  hampir setiap saat di berbagai sudut kota hingga pelosok nusantara.

Terakhir, kurangi tingkat ke-baper-an serta kebiasaan berburuk sangka. Poin ini tidak dikhususkan untuk dunia maya saja namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa kejadian yang saya amati, baper dan negative thinking adalah sebuah siklus asal muasal dari masalah perang komen alias tubir yang sering kita temui di media sosial. 

Kenapa bisa? Ya itu tadi, karena bentuk tulisan dan postingan yang bertebaran di media sosial itu multitafsir tergantung siapa yang membaca dan melihat, sehingga sangat mudah menyebabkan orang baper dan negative thinking. Orang baperan dan negative thinking itu seharusnya tidak layak jadi pengguna media sosial! (siape elu Rii??)

Perlu disadari bahwa seburuk-buruknya seseorang dan sebenci-bencinya kita terhadap orang itu, pasti ada setitik kebaikan dalam dirinya yang tidak kita ketahui. Tanpa ada usaha untuk berpikir positif terhadap hal yang memang buruk sekalipun, semangat untuk menciptakan perbaikan takkan pernah  bisa kita lakukan. *sebuah paragraf kurang nyambung tp gpp*

Tidak jarang kita melihati seseorang dalam kondisi tidak baik alias galau mengekspresikan pikiran dan perasaanya lewat postingan-postingan yang sebenarnya hanya memperlihatkan kelemahan dirinya.
Tidak jarang kita melihat seseorang yang gemar mencari kesalahan orang lain melakukan aksi saling sindir menyindir yang sebenarnya hanya memperlihatkan betapa buruk kualitas berpikirnya.
Dan tidak jarang pula  kita melihat sebuah tulisan panjang nan lebar yang kebermanfaatnya masih diragukan seperti dihadapan anda saat ini.

Mungkin ini adalah bentuk  ekspresi kegalauan si mbak yang nulis. Mohon dimaafkan jika yang membaca kurang berkenan. Saya Cuma pengen bilang, dalam bersosial  media  tidak diharuskan menjadi pengguna yang selalu tampil menebar kebaikan dan berbagi inspirasi, itu terlalu idealis. Cukup dengan mengendalikan jari saja untuk tidak saling menyakiti.
Jangan baper!


April 2016. Di suatu sudut kota Malang

Selasa, 19 Juli 2016

Any Body Home?

Sudah sekitar empat bulanan saya samaskali tidak memposting apapun di blog ini. Sebagaimana rumah yang lama tak dikunjungi, tentu saya sangat merindukan laman tempat saya mendokumentasikan rasa, ide dan sikap ini. Jadi sebelum nulis panjang lebar, saya mau menyapa unyu blog ini dulu ya

ha loo .... *krik-krik*

Dah ah..
Selama lebih kurang empat bulanan ini, banyak banget sebenernya hal yang pengen saya tulis dan post di sini. Tapi, karena sebuah alasan yang saya terlalu benci untuk mengutarakannya, topik-topik itu nggak jadi saya tulis dalam masing-masing postingan, dan akan saya rapel dalam postingan edisi rindu kali ini  *pasang ikat kepala*

Here we go!!!

Dimulai dari bulan April. Jadi, pada tanggal 20-25, salah satu organisasi yang saya ikuti dimalang mengadakan sebuah pelatihan kepemudaan tingkat nasional. Pada kegiatan ini, saya diamanahkan mejadi tim komisi disiplin dalam perangkat kepanitiaan. Wow, unbelievable. Makhluk serapuh saya ini diminta untuk mendisiplinkan peserta pelatihan yang sangat mungkin jauh lebih disiplin dari saya. They are really kidding me i thought.

Saya lalu bergalau ria antara menerima atau tidak. Pikiran saya nyaris kacau, memikirkan amanah yang sangat tidak biasa ini. Kalo bisa milih mending jadi ketua pelaksana sekalian deh daripada diminta kadi komdis. Ketahuilah, beban yang menurut saya teramat berat ini bukan karena jobdesk membangunkan peserta pukul 01.30 dini hari kemudian mengevaluasi hingga pukul 03.30 setiap harinya selama 4 hari. Bukan tentang upaya-upaya merubah  orang menjadi dispilin  yang agak mustahil dilakukan dalam waktu 4 hari. Dan bukan pula karena takut akan perubahan siklus biologi saya yang akan menyamai kelelawar nanti.

Hanya karena satu hal.  Beban amanah jadi komdis menurut saya teramat dekat dengan predikat munafik. 

Selang beberapa hari menggalau dengan sedikit drama, akhirnya saya membuat sebuah keputusan. Inna a’malu binniati. Saya meyakinkan diri bahwa saya diberi tanggung jawab bukan karena kemauan saya tapi karena saya dipercaya dan insya Allah dapat diandalkan. Tidakkah ini adalah kesempatan yang baik untuk memantaskan diri menjadi sebenar-benarnya manusia yang disiplin? Tidakkah ini menjadi sebuah peluang untuk turut serta dalam lomba menuju kebaikan? Bismillah I can do it. mari memulai amanah ini dengan memantaskan diri sebagai seorang evaluator *tapi tetap saja nggak terlalu pantas hiks*.

Menyadari bahwa dengan senjata lidah yang tajamnya akan menyayat hati dan peluru kata yang dapat menembus jantung bagi mereka yang akan dievaluasi, sekiranya ini akan menjadi sebuah pengingat yang mematikan  jika saja saya diuji dengan kadar iman yang terjun bebas suatu hari nanti. Naudzubillah min dzalik.

Well, saya dan tim komdis dengan segenap masalah yang kami punya, berhasil mengeksekusi tugas kami dengan baik. Wallahu alam dengan keadaan diri kami masing-masing  yang tak luput dari kalimat istighfar tiap menitnya. 

Tanggal 20-25 April 2016 menjadi empat hari yang benar-benar menguras  tenaga, emosi, pikiran, dan isi dompet tentunya. Dengan kondisi fisik yang sangat sangat rapuh ini, rasanya memang predikat “sok kuat” dari seorang sahabat terlihat pantas dinobatkan pada diri saya.

Pada suatu hari dalam empat hari tersebut, saya harus memaksakan diri  untuk tetap ON selama 24 jam karena terhimpit agenda yang  berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Well, saya benar-benar tidak punya pilhan untuk tidur meski sejam dan mencoba untuk bertahan melewati semua rintangan *le bay Riii*

Hari itu adalah tanggal 22 April. 24 Jam pada hari jumat tersebut terasa seperti hadiah dari Allah. Rasa lelah yang saya rasakan kiranya tak sebanding dengan perasaan bahagia.  Bagaimana tidak, 24 jam pada hari itu terasa sungguh sangat produktif. Sebuah kesempatan berharga bagi saya untuk menjadi sebaik-baik manusia, dengan bermanfaat bagi orang lain. Tidak perlu saya  tuliskan disini apa saja agenda dalam 24 jam itu, bercerita seperti ini saja sudah cukup untuk menjadikan saya manusia yang luar biasa riya wkwkw.

Kemudian, sebuah ujianpun datang (lagi). Seminggu setelah perhelatan akbar agenda Pelatihan Pemuda tersebut, saya kembali jatuh sakit sesuai dengan prediksi mereka yang cukup mengenal bahwa musuh terbesar bagi benteng pertahanan kesehatan saya adalah rasa lelah.  Bukan hal yang langka memang. Bahkan, saya nyaris terbiasa dengan keadaan seperti ini. Yeah, i had been making a shit deal with it.

Demi tidak merusak salah satu resolusi di tahun 2016 ini, yaitu tidak kembali dirawat di Rumah Sakit, saya berusaha semaksimal mungkin, dengan sedikit  ilmu yang saya miliki sebagai mahasiswa fakultas kedokteran, untuk menyembuhkan diri tanpa harus ke Rumah Sakit. Tiga hari berturut-turut saya diserang demam tinggi dengan komplikasi batuk yang bisa dibilang sangat parah. Obat yang saya konsumsi tak mampu menstabilkan kembali kondisi badan saya. Hingga akhirnya saya harus melantunkan sebuah lagu milik Celine Dion, I surrender

*Welcome back to hospital*

Berbeda dengan sebelumnya ketika saya menjalani rawat inap dengan diagnosa penyakit yang tak seberapa, kali ini saya harus berusaha menguatkan diri dengan diagnosa penyakit yang  pernah menjadi salah satu kasus yang saya tangani saat menjalani prkatik di salah satu rumah sakit di Malang. Bronkitis. 

Walaupun agak menyedihkan, saya masih merasa beruntung karena penyakit ini masih dalam fase yang dapat disembuhkan apabila mendapat penanganan yang tepat. Tentu saja saya optimis bisa kembali sehat dan bisa say good bye pada penyakit radang paru-paru ini. Ulasan mengenai bronkitis, akan saya bahas lebih detail di postingan lain.

Kurang lebih saya menjalani perawatan selama 7 hari di rumah sakit. Dan karena kondisi yang masih belum fit meski sudah diizinkan pulang sama dokter, saya akhirnya memutuskan untuk pulang ke home sweet home agar bisa lebih maksimal menjalani proses recovery. Well, dengan kembalinya saya ke rumah di kampung, alhamdulillah kondisi saya saat ini kembali membaik. Tinggal satu tahap lagi untuk menang melawan musuh sekaligus guru dalam hidup yang singkat ini.

kemudiaan......

Udahan ah curhatnya. *lepas ikat kepala kemudian teler*


Minggu, 17 April 2016

Merenung


Memiliki karakter  yang  tidak begitu feminim seperti kebanyakan  perempuan membuat saya sering merenung akhir-akhir ini. Masa saya akan terus seperti ini sampe ajal datang sih.  Sampe kapan saya menjadi manusia yang kalo ngomong suka bikin orang lain terintimidasi? Sampe kapan saya menjadi manusia yang terlalu berlogika dan terus-terusan mengesampingkan perasaan? Sampe kapan saya harus dianggap manusia yang tidak enak di ajak ngobrol seputar permasalahan hati? Sampe kapan saya menjadi manusia yang kalo marah bisa membahayakan harga diri orang yang menyebabkan saya marah? Sampe kapaan?

Saya benci menjadi orang yang perfeksionis. Standar hidup yang saya buat terhadap sebuah pencapaian terlalu tinggi. Ekpetasi saya terhadap orang lain sangat berlebihan. Saya nyaris selalu menuntut  kesempurna terhadap tanggung jawab yang diberikan orang lain. Hasilnya? Tentu saja saya menuai kecewa. Salah siapa? Tentu salah saya yang terlalu idealis.

Mereka yang berharap dimengerti karena terbiasa lalai dan menganggap maaf dapat memperbaiki segalanya, menganggap saya adalah musuh terbesar yang harus diwaspadai. Saya memang manusia yang tidak pantas diberikan tanggung jawab dalam bentuk tim yang mana orang-orangnya tidak se ambisius saya. Mereka pasti akan tersiksa jika harus bekerja sama dengan manusia yang banyak menuntut dan sangat nggak selow ini. 

Bukan apa-apa dan saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Seperti yang saya bilang diatas, ini adalah salah saya yang terlalu idealis. Saya menulis ini selain untuk kepentingan curhat, saya juga berharap dapat menemukan solusi atas permasalahan klasik yang sering saya temui dalam kepengurusan/ kepanitiaan sekelompok orang yang terbiasa dengan manajemen by sorry ini. 

Mungkin Allah sedang sayang-sayangya dan cinta-cintanya sama saya sehingga lewat saudara-saudara ini   Allah menguji saya.

Jika memang sudah sebegitu tidak memungkinkan berharap saudara-saudara saya itu bisa seperti maunya saya, maka saya yang harus memaksa diri saya untuk memahami mereka dan tetap berprasangka baik. Saya harus ingat bahwa kesempurnaan, kesuksesan,  kebahagiaan, bukan tujuan utama yang harus saya capai dalam hidup ini. Berkah, itu yang jadi tujuan utama.

Buat apa mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekspetasi saya kalo ujung-ujungnya berkahnya hanya sedikit atau bahkan tidak berkah? Buat apa saya menyiksa batin kalo ujung-ujungnya lelah yang saya rasakan justru berbuah dosa? 

Rugi bandar ciin.

Ditulis dalam keadaan kesal dan akhirnya bisa tersenyum kembali
:) 



Sabtu, 16 April 2016

Bersaudara

Seringkali kita terlalu sibuk mencari kebahagiaan lewat hal yang terlihat istimewa dan menarik bagi kebanyakan orang, sehingga mata tak lagi mampu melihat hal-hal kecil di sekeliling kita yang menawarkan kebahagiaan yang sama atau bahkan lebih.  

Dalam Alquran disebutkan bahwa bahagia itu ada pada hati yang bersyukur. Saya sangat percaya meski kadang perlu diingatkan lagi oleh orang lain. Dengan segala nikmat yang Allah berikan secara cuma-cuma ini, masih belum cukupkah membuat kita bersyukur? Kalau mungkin kamu kesulitan mensyukuri nikmat yang Allah berikan, coba berhenti bernapas selama 1 menit. Saya yakin setelah itu kamu akan berjanji untuk tidak kufur nikmat hehe

Kebahagiaan sederhana yang teramat sangat membahagiakan yang sedang saya rasakan saat ini, dipersembahkan oleh beribu-ribu syukur karena dipersaudarakan dengan seorang adik yang sangat istimewa. 

Usia kelahiran kami selisih 3 tahun dengan proporsi badan yang tidak terlalu berbeda (bahkan lebih besar badan si adik), menjadikan kami tidak terlihat seperti kakak beradik bahkan sering disangka pacaran kalo lagi makan berdua. Tentu hal itu menimbulkan sedikit masalah untuk saya seorang perempuan yang menganut prinsip tidak bersentuhan dengan non mahram.  

Karena takut ada yang berburuk sangka, saya harus merepotkan diri  membuat sebuah pengumuman  di akun media sosial “Kalo ada yang ngeliat saya dibonceng atau berduaan dengan cowok, itu adik kandung  saya bukan siapa2. it's sounds lebay, tapi sebagai muslim yang baik perlu saya lakukan untuk menutup peluang dosa su'udzan buat sebagian orang.

Dulu saya sempat merasa iri dengan seorang teman di kampus karena dia memiliki adik yang berprestasi dan sering sekali dipamer-pamerkan. Tanpa sadar saya sering membanding-bandingkan dengan adik saya yang bisa dibilang sering disindir guru-guru di sekolahnya karena tak mengikuti jejak kakaknya yang sering mengharumkan nama sekolah (nama sekolah sering gw semprot parfum jadinya wangi). 

Saat itu saya belum disadarkan bahwa kebahagiaan itu tidak akan pernah didapatkan kalo kita selalu membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain, dan setiap orang sudah diberikan modal  menuju keistimewaan dengan caranya masing-masing. Tergantung orang tersebut dapat mengelola modalnya dengan baik atau menyepelekannya.

Kata ibu,  saya dan si adik bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda. Kira-kira bedanya begini. Dulu saat masih sekolah (saya SMP dan si adik SD), saat belajar  pada malam hari, saya buka LKS dan jawab soal-soal, sedangkan dia malah otak atik remot TV, robot-robotan, dan semacamnya. Saya adalah tipe orang yang tidak begitu suka bermain dengan anak-anak di sekitar rumah dan lebih memilih baca buku di dalam kamar, sedangkan si adik  malah kenal dengan semua anak-anak sebaya yang ada di kampung kita. 

Dulu kami pernah beberapa kali pindah rumah. Ketika itu saya sangat sulit beradaptasi dengan tempat yang baru saya datangi, si adik malah bisa langsung akrab dengan para tetangga hanya dalam  sehari. Ni anak emang SKSD abis.

Saat ini, saya dan si adik sama-sama merantau di Kota Malang untuk menimba ilmu. Disini kami sama-sama berproses untuk menjadi pemuda yang berguna bagi daerah kami kelak. Dan di sini, di kota malang yang tak lagi sejuk ini, saya akhirnya melihat keistimewaan dalam diri si adik yang membuat saya merasa sangat beruntung dipersaudarakan Allah dengannya. Dalam dirinya, saya melihat begitu banyak hal yang tidak mampu saya lakukan sebagai seorang anak yang kata orang lebih berprestasi dibanding adik saya itu.

Daan dari sekian banyak perbedaan antara saya dan si adik, ternyata ada satu kesamaan yang kami punya. Hal ini saya simpulkan begitu karena setelah saya perhatikan, ternyata adik saya memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap orang lain, tidak apatis terhadap hal apapun dan selalu berusaha bermanfaat di lingkungan dia berada. Sampe-sampe  kalo kita berdua ngobrol saya berasa bicara sama diri sendiri versi lebih maskulin haha.

Sebagai seorang organisatoris dan aktivis kampus (sok bet sok beet), saya tentu ingin si adik mengikuti jejak saya. Dan alhamdulillah, tanpa saya cekokin pemahaman tentang ideologi ini itu  dan segala macamnya, ternyata adik saya sudah melampauinya. Akhirnya selain memiliki wajah yang kata orang mirip, ada juga bukti ikatan batiniah kalo kita memang saudara satu pabrik  haha. 

Ingin sekali saya menuliskan secara detail di tulisan ini apa saja yang membuat adik saya yang tidak pintar-pintar amat itu terlihat begitu istimewa di mata kakaknya sekaligus rival berebut pelukan ayah ini. Tapi sepertinya kok sulit sekali ya menggambarkannya dalam bentuk bait-bait paragraf (ceileeh, padahal mah aslinya udah ngantuk). 

Jangan kecewa ya penonton. Semoga kalian bisa menjalin silaturahmi dengan adik saya biar tulisan ini nggak hoax2 amat hehe

Terimakasih ya dek sudah menjadi saudara sekaligus sahabat buat kakakmu yang cantik, semampai dan aduhai  ini *muntahnya ditahan ya pemirsa*


Semoga kita bersaudara sampe surga, amiin.

Rabu, 13 April 2016

Stop gusur-gusur plis

Sore ini, ditemani sebotol minuman probiotik dan beribu-ribu rasa syukur karena akhirnya laptop kesayangan Raisa bisa terkonek wifi asrama, saya akhirnya bisa mengunjungi blog yang dari tahun   2014 silam saya  PHPin bakalan diperhatikan dan akan sering saya berikan supply tulisan ini. Untung aja blog ini nggak sebaper akhi-akhi  yang akhirnya memilih menikah dengan akhwat lain karena saya cuekin.  *sok diincer cuiiih

Oke, kita ganti topik. Saat saya melakukan aktivitas ketik mengetik di sini, di platform yang berbeda sedang sangat ramai pembicaraan tentang reklamasi teluk Jakarta. Saya sebagai mahasiswi tua yang tak kunjung wisuda tentu nggak mau ketinggalan  dong demi terlihat keren dan up to date kondisi Indonesia terkini.  *istighfar Riii*

Sebenarnya bukan pada update nggak update terhadap isu terbaru, hanya saja karena tiap kali melakukan segala aktivitas keluar kamar, saya selalu lewatin TV yang hampir selalu menayangkan perihal kasus tersebut. Dan karena menyadari posisi saya sebagai golongan yang menurut bapak proklamator adalah 1 di antara 10 orang yang dapat mengguncang dunia, maka saya merasa penting untuk mempelajari dan mengkaji tentang isu reklamasi ini dengan kemampuan seadanya.

Ya syukur-syukur barangkali dari otak yang kemampuannya pas-pasan ini Allah memberikan sebuah gagasan yang dapat memberikan kebermanfaatan. (Aamiin)
Lagian nggak ada yang salah juga dengan  keinginan untuk memahami isu reklamasi yang selama ini kerap dijadikan lahan mengais pundi-pundi rupiah oleh penjahat korporasi dan sekutunya meskipun saya bukan seorang ahli kan?

Dari beberapa referensi yang saya baca, terkhusus kasus reklamasi pantai teluk Jakarta, ternyata masalah ini sudah ada sejak April 2007 silam dan sudah mendapatkan perlawanan  dari KNTI pada saat itu karena dinilai tidak dilandasi kajian akademis yang akurat serta dinilai berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup disana.

Tapi kok baru rame sekarang? Apa mungkin karena emang saya aja yang dalam rentan waktu tersebut masih se-apatis itu, atau karena saat ini kita hidup di era teknologi yang memudahkan seluruh akses informasi jadinya orang-orang lebih huebooh, ataukah karena kondisi Jakarta yang sedang berada dalam lingkaran merah sebagai daerah yang menuju perhelatan sengit politik kontestasi Pilgub 2017 mendatang? 

Entahlah itu bukan inti dari tulisan ini. Yang menjadi perhatian saya kali ini adalah perkara  gusur sana gusur sini oleh para  satpol PP itu.

Hal yang terbesit  di pikiran saya ketika membayangkan proyek reklamasi teluk Jakarta ini adalah, akan ada sekian ribu orang yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan sumber segala sumber dalam menjalani  roda kehidupan.

Ah, kok tega sekali sih para sekutu kapitalisme itu. Sebagai bagian dari kaum menengah kebawah yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi di PTN yang sumber pembiayaannya juga adalah dari rakyat, hati saya bergejolak bukan main.

Sudah sedemikian mengenaskan kah hidup di Indonesia yang katanya Negara gemah ripah loh jinawi ini?
Saya tidak ingin menyalahkan pemerintah. Apalah saya ini mahasiswi tak kunjung wisuda menyalah-nyalahkan pemerintah yang sudah banyak salah itu (?)

Hanya saja, dengan segala hormat dan penuh sayang, kepada yang terkasih Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemilik modal.  Tolong, jangan jadikan Indonesia sebagai negeri yang tidak ramah orang miskin.

Kalau memang sudah sebegitu susahnya mengatasi masalah kemiskinan di negara ini, setidaknya tolonglah untuk tidak semakin memiskinkan orang miskin, dan mengkayakan yang kaya. Bagaimana kira-kira perasaan bapak ibu yang terkasih  ketikan melihat realita masyarakat yang  menjadi korban gusur sana gusur sini itu?

Kalau tak ada rasa iba sedikitpun, coba diperiksa dada bapak ibu sekalian, barangkali hatinya sudah tidak ada..