Halo haloo, it's been a while..
Memang yaa, ternyata aku adalah mahluk yang paling tidak konsisten dalam menjaga ritme postingan tulisan dalam sebuah blog hahahaha....
Boro-boro mau nulis panjang lebar buat disubmit kesini, balesin chat orang aja kalo ga penting-penting amat ya ngendap sampe lumutan baru dibales. Tapi kan beda sis menulis sama balesin chat orang. Emang beda sih, tapi ya gimana ya, udah sebegitu malesnya akutuh berkutat dengat keyboard dan aktivitas ketik mengetiknya *istigfhar rii*
Ini bukan hal baru sih, saya dari dulu emang terkenal nyebelin kalo soal komunikasi tertulis. Hanya ke beberapa orang doang saya bersemangat buat berinteraksi via text. (P.s : ini di luar hal2 kerjaan dan semacamnya ya)
Bilang lagi mengidap writer block aja alesannya panjang bener yee hahaa
Soal menulis, saya nggak bener2 inget kapan memulainya dan apa yang saya tulis waktu itu. Dugaan saya palingan tulisan pertama saya itu sebuah curhat nggak jelas ala abg labil yang kalo disuruh baca saat ini saya lebih memilih mending jadi hakim MK di persidangan gugatan hasil pilpres 2019 huuhuu..
Yang saya ingat, saya menjadi lebih serius dalam dunia tulis menulis saat memutuskan untuk bergabung dengan sebuah organisasi riset ilmiah di fakultas tempat saya menimba ilmu. Namanya Lembaga Studi Ilmiah mahasiswa.
Yah, jadi pengen cerita kan tentang masa-masa awal kuliah dulu. Gapapa ya, kita flashback sebentar mengenang masa-masa ketika saya masih imut-imut *sekaligus amit-amit*
Saya nggak pernah sebelumnya berkeingan untuk kuliah di kota Malang khususon Universitas Brawijaya. Tidak usah diceritakan lah ya gimana ceritanya saya bisa kuliah di UB, sudah pasti karena tidak diterima di kampus tujuan utama saya hahaha
Bener emang kata pepatah bahwa Allah nggak ngasih sesuatu yg kita pengen, melainkan sesuatu yang kita butuh. Dengan diterimanya sebagai mahasiswa Brawijaya, bisa dibilang saya benar-benar beruntung karena dihadiahkan lingkungan yang masyaAllah indah sekali untuk berproses.
Singkat cerita, di awal ospek Fakultas saya merasa benar-benar digembleng untuk siap lahir batin menjadi mahsiswa yang di atas rata-rata. Terlebih dalam aspek gagasan keilmiahan. Saya memang pernah beberpa kali menulis KTI pas SMA, tapi konsep tugas-tugas keilmiahan ospek FKUB benar-benar membuat saya kewalahan saat itu. Saat itupun saya berazam untuk bergabung dengan LSIM demi mempermudah kehidupan saya sebagai seorang mahasiswa. Dan di LSIM ini lah saya belajar dan terlatih untuk menuangkan ide-ide sok iye dan pemikiran sotoy saya ke dalam bait-bait paragraf.
Kurang lebih begitulah asal-muasal perkenalan saya dengan dunia tulis menulis. Sedih sih, tulisan2 saya dalam bentuk proposal KTI, PKM, bussiness plan, press release, dan sejumlah artikel ilmiah semuanya tidak terarsip dengan baik. Jadi semakin gak ada bukti deh bahwa gini-gini saya pernah jadi orang yang waras..
Selain berbekal belajar lewat organisasi kepenulisan, yang perlu banget kita ketahui adalah, menulis bukanlah skill yang bisa didapat dengan proses yang instan. Mau sebanyak apapun bumbu teori yang kita pelajari dan kuasai, tapi kalo nggak sering nulis, rasanya semua akan percuma. Jadinya nanti kayak saya gini, nulis caption sama status FB aja tydack becus.
Lalu sepenting apa menulis itu? Apakah semua orang harus bisa menulis?
Depend on who you are. Jadi ya tidak semua orang harus bisa. Mari kita tidak usah membahas mereka yang tidak terlalu membutuhkan skil menulis sebagai sebuah kewajiban. Menurut saya, yang wajib memiliki skill menulis yaitu mereka yang terlibat dan menempuh jalan sebagai aktivis gerakan. Mereka harus mampu untuk menyampaikan gagasannya melalui tulisan. Tulisan yang tidak sekedar bacotan semata melainkan sesuai dengan kaidah sebenarnya. Tulisan yang menggerakan bahkan mampu menyongsong perubahan. Loh kok jadi serius begini hadeeh.
Berhubung jalan hidup pilihan saya adalah jalur alternatif yang jauh dari semua itu, jadinya menulis buat saya hanyalah sebuah media untuk berbagi isi pemikiran saya yang random. Terlebih karena saat ini saya hidup di belahan bumi yang cukup jauh dari rumah. Jauh dari jangkauan orang-orang yang bisa saya datangi kapan saja ketika butuh pundak untuk bersandar. Menulis akan membuat saya sedikit waras dengan segala drama kehidupan sebagai imigran yang sedang saya jalani saat ini.
Panjang juga ya hmm. Udah ah mau lanjut nontonin drama sidang gugatan hasil pilpres lagi wkwkwk.....
Riri's Home
Just write anything i want to write.
Kamis, 20 Juni 2019
Minggu, 30 September 2018
Para Priyayi
Para
Priyayi adalah sebuah buku tua yang sudah lama sekali bertengger dalam rak buku
di rumah bersama dengan sekumpulan koleksi LKS dari jaman saya SMP. Entah dari
mana asalnya saya tidak begitu paham. Besar kemungkinan milik sepupu yang
kuliah jurusan sejarah tidak sengaja ditinggal.
Tau-tau saya merasa tertarik
untuk membacanya (Pertama Tahun 2010 dan dibaca ulang pertengahan 2018). Dan setelah
selesai membacanya, rasanya seperti ada energi baru, yang tidak saja
meningkatkan semangat hidup tapi juga sedikit merubah saya dalam menyikapi
berbagai dinamika kehidupan. Yup, buku ini bisa dibilang salah satu buku yang
sangat berpengaruh dalam hidup saya.
Retrospeksi
dari buku ini menjadi sebuah model sejarah yang berguna bagi kita saat ini yang
sedang bergulat dengan zaman yang serba terhubung. Tokoh-tokoh dalam para priyayi bergulat
dengan terbukanya pemikiran akibat persinggungan dengan bahasa dan budaya Belanda
sebagaimana kita yang saat ini bergulat dengan keterhubungan global yang
ditawarkan teknologi.
Buku ini
menyajikan pelajaran manajemen konflik yang baik dengan latar belakang history secara
mikroskopis, yang dipercantik dengan detail lanskap kultural Jawa yang sangat
kental. Benturan paham dan gaya hidup antara islam abangan, santri, kolonial,
komunisme, dan modernitas disajikan alami, mengalir tenang, dan tanpa
penghakiman. Sungguh sebuah eksekusi penulisan yang sangat indah. Membacanya membuat
saya tidak ingin cepat-cepat menyudahinya.
Dalam review
ini saya tidak akan menjelaskan banyak tentang Para Priyayi itu sendiri. Sederhananya, simpulan saya tentang priyayi
dalam buku ini yaitu suatu unit kelas
kedudukan atas hierarki sosial di tengah masyarakat., yang mana mereka adalah sekelompok
manusia yang terlahir dari dorongan batin dan perbuatan hati untuk selalu memberikan
kontribusi lebih kepada masyarakat luas.
Yang
paling membekas dalam ingatan saya ketika membaca buku ini adalah, sajian
filosofi kehidupan bahwa status fana tentang reputasi, tidak akan dimiliki
secara abadi. Yang kekal adalah kemauan untuk menjadi manusia yang
memanusiakan. Manusia yang tumbuh baik dan berguna untuk sesama, seperti yang
diajarkan oleh tokoh Lantip dan Sastrodarsono.
Masih banyak
kekaguman yang terlalu panjang jika saya ulas satu-persatu. Buku ini seharusnya
menjadi bacaan yang wajib karena mengandung banyak materi yang dapat meningkatkan
EQ. Saking bagusnya cara Umar Kayam
menuliskan buku ini, bagi yang tidak suka membacapun akan sangat mudah
menyesuaikan diri atau bahkan jadi sangat suka membaca.
Sayangnya,
buku paling rekomended ini sudah langka beredar di toko buku kekinian. Tapi
tenang, buat teman-teman yang tidak ingin menyesal karena tidak membaca Para
Priyayi bisa kepo tipis-tipis ke akun instagram @bukusayang dan @kumajas.jp
Ini
ngapa endingnya jadi promo dah guwaaah. Sekian dulu ya review nanggung dari
saya. Kepadatan jadwal hari senin mengharuskan saya menyudahi aktivitas menulis review ini. Doakan semoga saya bisa konsisten sharing hal-hal yang berfaedah :3
Senin, 24 September 2018
Sendal Jepit
Quarter life crisis. Saya teringat sebuah game absurd yang sempat ngetren beberapa
waktu lalu. Seorang teman membuat postingan di WA storynya, dan menyatakan akan
membuat impression jika postingan tersebut dibalas dengan “hey”.
Sebagai
mahluk alay yang suka berinteraksi (Alias kurang kerjaan bales2in story orang),
dengan gembira saya ikut memeriahkan game gak jelas itu. “Hey” *insert some
guffaw emoticons *sent. Lalu terjadilah adegan bales-balesan chatt yang tida
begitu penting.
Dan ternyata,
sebelum diberikan impression, ada syarat yang harus dilakukan yaitu menjawab beberapa pertanyaan,
diantaranya “Apa hal yang ingin kamu lakukan dalam 2 tahun kedepan?”
Tanpa
berpikir panjang, saya menjawab “Hal yang ingin sekali saya lakukan adalah melanjutkan
sekolah.”
Teman saya
kaget “Woh, aku kira jawabannya menikah hahahaha” balasnya. Karena saya
orangnya selow kayak sendal jepit, lagi-lagi guffaw emoticon jadi andalan
“hahahaa, terserah Allah aja deh, mau diapakan hambaNya ini” Jawab saya pasrah.
Sejenak
saya jadi mikir, manusia yang gak kepikiran menikah di usia seperempat abad macam
saya ini normal-normal aja kan?
Pikiran saya nyaris kacau disesaki pertanyaan dan pernyataan seputar pernikahan yang pernah saya terima dari orang-orang
terdekat “jadi kapan nih nyusul, Ri?” “Jangan kebanyakan baca buku Ri, sampe
lupa nikah” “Kasian yang pada nunggu Ri!” “Ri, mau dicariin calon suami?” “Ingat
umur Ri”. *hmmmm Auto Nisa Sabyan*.
Tiba-tiba ingatan saya
lalu bertualang ke kejadian penolakan ajakan menikah beberapa manusia sholeh karena
ketidaksiapan mental saya, yang kemudian berlanjut menjadi drama Riri tidak
punya perasaan. Haissh. No komen. Kacau. Sebisa mungkin saya meyakinkan diri, bahwa
tidak ada yang salah dengan prinsip dan pendirian hidup saya.
Saya terlalu
malas untuk menjawab pertanyaan orang tentang alasan mengapa tidak terbesit
sedikitpun keinginan untuk menikah saat ini. Yang perlu orang ketahui, dan
sudah seharusnya tahu, bahwa Allah sudah menetapkan jalan hidup kita sesuai
skenario-Nya. Jadi, tidak penting untuk mengusik hidup orang dengan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak berbobot tentang pernikahan. Control
your curiousity, darling. Plis berhentilah memaksakan standar hidup yang
kita buat untuk kehidupan orang lain!
Tidak
masalah dibilang kelewat independent selama kita happy dan tidak merugikan
orang lain dalam bentuk materi. Bagi saya, menjadikan alasan di luar kendali
diri untuk menemukan kebahagian adalah sebuah ironi. Belajarlah mencintai diri
sendiri, tingkatkan kualitas diri dan jadilah spesial. Especially dalam pandangan Pencipta kita. Saya menganggap sesuatu
yang terjadi di luar diri, seperti halnya hubungan antara sesama manusia baik
itu teman, keluarga, ataupun tentang pasangan hidup, tidak lebih dari sekedar
perangkat-perangakt ibadah, yang muaranya kembali pada menjadi manusia spesial.
Agak
mengenaskan sih kalau sampai kita menjadikan perhatian dan perlakuan orang lain
sebagai sumber kebahagiaan. Sebab itu, penting untuk mengenali diri dengan
perbanyak mengajaknya berinteraksi alias ngobrol sama diri sendiri. Berpikir
dan mengendalikan pikiran adalah koentji, guys.
Bukankah kita tidak bisa membahagiakan orang
lain jika diri sendiri saja tidak bisa kita bahagiakan? *Jawab pak Eko!
Silahkan
saja kalau mau berpikiran bahwa saya terlalu overrated terhadap penilaian diri
dan mengesampingkan aspek maslahat lainnya dalam memutuskan untuk menikah. Sayapun
tidak memaksakan orang lain harus berpikiran sama seperti saya.
Sebagai manusia
beriman, sudah menjadi kewajiban saya untuk percaya dan memasrahkan masa depan
saya sama Allah. Dan, ketidaksiapan mental yang saya alami saat inipun, saya
rasa adalah bagian dari ketetapanNya. Tugas saya sekarang hanyalah memperbaiki dan
meningkatkan kualitas diri untuk masa depan yang sesuai ekspetasi saya, dan
menyiapkannya sesiap-siapnya untuk menjemput takdir Allah.
Tulisan
ini tidak lebih dari sekedar curhat, karena akika sudah terlalu lelah menghadapi badai
pertanyaan yang kebanyakan lebih seperti mengintimidasi. Yang membaca tidak
perlu sepakat dengan pemikiran saya. Cukup bantu saya menyudahi
pegal-pegal di otak dan hati ini. Bisa kan?
Jumat, 21 September 2018
PARODIA
Parodia
adalah antologi cerpen ketiga yang saya baca setelah “Yang Bertahan dan Binasa
Perlahan” karya Oki Mandasari, dan “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan
Cinta Melalui Mimpi” karya Eka Kurniawan.
Sebagai
seorang maniak buku yang tidak begitu bisa menikmati karya sastra (otak hamba
agak kurang nendang dan cenderung lemot buat menyerap makna dalam tiap karya
sastra, maapkeun), review buku kali ini mungkin banyak biasnya. Apalagi,
sebelumnya memang saya belum pernah sama sekali membaca tulisan-tulisan sang
penulis yang bertebaran di banyak media daring. *menyesal akutuh, kok bisa sih
baru kenal orang se kece mba Isti L *
Baik, mari
langsung saja bahas karya mba Isti. Keburu dingin entar buburnya, eh buku..
Pertama,
saya mau berterima kasih karena telah
dikenalkan dengan “Parodia”. Sebuah kata yang masih asing, yang dalam buku ini
sangat jelas tergambarkan definisinya yang lebih dari sekedar tanaman kaktus
yang indah.
Membaca
buku ini adalah sebuah petualangan menakjubkan. Suguhan kisah-kisah yang tidak
biasa, mengajak pikiran saya bertamasya, menelusuri hidup para perempuan
tangguh yang terlahir dari takdir yang “mengenaskan”.
Seperti
yang saya katakan di awal, bahwa saya tidak begitu pintar untuk menangkap
gagasan yang ingin disampaikan oleh mba Isti dalam buku ini. Saya memaknai buku
ini sesuai kapasitas dan pengalaman interaksi yang sangat terbatas.
Bagi
saya, tiap cerita dalam buku ini mempresentasikan kegigihan atas prinsip dari
tokoh-tokohnya. Membuka cakrawala terhadap realita yang kerap dihindari sebagai
materi pelajaran dalam sekolah kehidupan, yang bernafas surealis.
Parodia mengajarkan
saya, bahwa penilaian terhadap harga diri tidak bisa dipandang dari status
sosial seseorang. Saya juga dapat merasakan betapa indahnya kombinasi dari sebuah
kerelaan, ketulusan, dan keihklasan, yang diajarkan oleh tokoh Aku dalam cerita
Kebun Cinta. Lalu pelajaran dari Muning dan Felix, bahwa berbeda keyakinan
tidak menjadikan manusia tidak dapat saling jatuh cinta. Ketetapan Tuhan harus
dijalankan, namun perbedaan harus diterima. Begitupun dengan kehadiran cinta
yang tidak dikehendaki.
Dalam cerita Mendayung Gelombang, saya kembali diingatkan tentang fenomena sosial budaya patriarki yang masih sering dijumpai. Lalu cerita Rere, gadis malang yang jadi korban atas kekeliruan manusia dalam menerjemahkan fungsi indra penglihatannya. Kisah Rere adalah sebuah refleksi kehidupan sosial kita dewasa ini. Literasi yang kurang, menyebabkan kita mudah sekali membuat kesimpulan atas hal-hal yang tidak kita pahami. Orang lain yang salah, tetapi Rere yang lemah tidak punya pilihan selain pasrah.
Dalam cerita Mendayung Gelombang, saya kembali diingatkan tentang fenomena sosial budaya patriarki yang masih sering dijumpai. Lalu cerita Rere, gadis malang yang jadi korban atas kekeliruan manusia dalam menerjemahkan fungsi indra penglihatannya. Kisah Rere adalah sebuah refleksi kehidupan sosial kita dewasa ini. Literasi yang kurang, menyebabkan kita mudah sekali membuat kesimpulan atas hal-hal yang tidak kita pahami. Orang lain yang salah, tetapi Rere yang lemah tidak punya pilihan selain pasrah.
Menjawab
pertanyaan dari penulis di pengantar buku ini. Apakah setelah membaca saya
menjadi tercerahkan, atau justru resah dan gelisah?
Saya mengalami keduanya. Buku ini dibaca dua kali sebelum akhirnya saya berani untuk menulis reviewnya. Kali pertama saya sangat resah karena menemukan cukup banyak kesalahan dalam penulisan (dadah-dadah ke penerbit stelkendocreative). Dan yang kedua kali, saya jatuh cinta. Mba Isti, ketemuan lagi, yuk :)
Saya mengalami keduanya. Buku ini dibaca dua kali sebelum akhirnya saya berani untuk menulis reviewnya. Kali pertama saya sangat resah karena menemukan cukup banyak kesalahan dalam penulisan (dadah-dadah ke penerbit stelkendocreative). Dan yang kedua kali, saya jatuh cinta. Mba Isti, ketemuan lagi, yuk :)
Jumat, 25 November 2016
Wahai Netyjen!
Dunia kini sudah bertransformasi menjadi serba digital. Untuk
mendapatkan perkembangan informasi dan berita-berita terupdate, sebagaian besar
orang sudah beralih ke media elektronik daripada media cetak.
Bagi siapapun
yang aktif menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi atau sekedar
ruang untuk sebuah eksistensi, tak jarang kita menemukan berbagai fenomena yang
mengajak kita untuk ikut bereaksi.
Aktivitas scroll
up scroll down hampir menjadi rutinitas sehari-hari yang sangat
mudah menyebabkan kita terseret derasnya arus informasi. Mulai dari postingan
status-status tanpa arti, gambar-gambar islami yang memotivasi, maraknya
akun-akun promosi, berita hoax yang bikin frustasi, hingga tulisan-tulisan yang
membangun opini.
Dari media
sosial, banyak sekali pengetahuan-pengetahuan baru dapat kita peroleh. Mulai
dari berita teramat tidak penting Saipul Jamil masuk penjara,
hingga LGBT yang menyangkut martabat Negara.
Perlu disadari, bahwa berbagai informasi yang kita dapatkan
di media sosial, tidak semuanya penting untuk kita ketahui. Ada informasi
yang sifatnya memang must to know dan hanya nice to
know. Sistem filter terhadap informasi yang kita terima harus bekerja
semaksilmal mungkin agar terhindar dari pengaruh negatif
media sosial.
Dalam tulisan
ini, saya ingin menyampaikan sedikit kesoktahuan saya tentang bagaimana
menjadi pengguna media sosial yang bahagia. Bagi saya, walaupun sekedar
dijadikan sebagai hiburan semata, namun penting untuk mengelola media
sosial yang kita miliki secara bijak agar kita tidak turut serta menjadi
korban dari efek negatifnya.
Pertama, apapun jenis platform media sosial yang kita gunakan,
kecerdasan dalam menentukan siapa saja akun yang menjadi teman atau
following adalah hal yang paling penting. Tab Home/Timeline akan
menjadi bagian yang paling sering diakses saat berselancar ke dunia
maya, sehingga memilih orang/akun yang tepat sebagai teman/following di media
sosial akan menciptakan ruang bersosialisasi yang informatif,
komunikatif, dan lebih positif.
Kedua, jangan
mudah percaya dan mengamini setiap informasi yang diterima. Banyak sekali
informasi adu domba ataupun hoax disebarkan oleh oknum-oknum
provokatif dan clicking monkeys. Seorang pengguna media sosial
harus mampu mengendalikan diri agar tidak menjadi bagain dari target
operasi penjahat bersenjata jari ini, dan harus menjadi komunikan yang kritis
dengan mengklarifikasi setiap informasi yang diterima agar tidak mudah ditipu
dan tidak ikut-ikutan menyebarluaskan informasi yang menyesatkan.
Ketiga, ini adalah tentang sikap. Selain berupaya untuk terhindar dari
pengaruh buruk sosial, seorang pengguna media sosial juga perlu mengkondisikan
diri untuk menjadi warga dunia maya yang baik. Menjaga sikap bukanlah soal
pencitraan, karena berakhlak baik dianjurkan tidak hanya untuk diterapkan di
dunia nyata melainkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Seorang pengguna
media sosial harus tetap menjaga sikap meskipun aktivitasnya sebatas update
post dan reply comment.
Sikap menjadi hal penting yang perlu diperhatikan karena sering sekali
kita menemukan orang-orang kebablasan berekspresi di media sosial. Terlepas
dari siapa yang paling pintar dan siapa yang paling sombong, hanya karena tidak
saling bertatap muka, pemilihan kata-kata dalam menyampaikan argumen di media
sosial kerap tidak diperhatikan dan cenderung disepelekan, sehingga cyber
harrasment, cyber bullying dan cyber crime terjadi
hampir setiap saat di berbagai sudut kota hingga pelosok nusantara.
Terakhir, kurangi tingkat ke-baper-an serta kebiasaan berburuk sangka.
Poin ini tidak dikhususkan untuk dunia maya saja namun juga dalam kehidupan
sehari-hari. Dari beberapa kejadian yang saya amati, baper dan negative
thinking adalah sebuah siklus asal muasal dari masalah perang komen
alias tubir yang sering kita temui di media sosial.
Kenapa bisa? Ya itu tadi, karena bentuk tulisan dan postingan yang
bertebaran di media sosial itu multitafsir tergantung siapa yang membaca dan
melihat, sehingga sangat mudah menyebabkan orang baper dan negative
thinking. Orang baperan
dan negative thinking itu seharusnya tidak layak jadi pengguna
media sosial! (siape elu Rii??)
Perlu disadari
bahwa seburuk-buruknya seseorang dan sebenci-bencinya kita terhadap orang itu,
pasti ada setitik kebaikan dalam dirinya yang tidak kita ketahui. Tanpa ada
usaha untuk berpikir positif terhadap hal yang memang buruk sekalipun, semangat
untuk menciptakan perbaikan takkan pernah bisa kita lakukan. *sebuah
paragraf kurang nyambung tp gpp*
Tidak jarang
kita melihati seseorang dalam kondisi tidak baik alias galau mengekspresikan
pikiran dan perasaanya lewat postingan-postingan yang sebenarnya hanya
memperlihatkan kelemahan dirinya.
Tidak jarang
kita melihat seseorang yang gemar mencari kesalahan orang lain melakukan aksi
saling sindir menyindir yang sebenarnya hanya memperlihatkan betapa buruk
kualitas berpikirnya.
Dan tidak jarang
pula kita melihat sebuah tulisan panjang nan lebar yang kebermanfaatnya
masih diragukan seperti dihadapan anda saat ini.
Mungkin ini
adalah bentuk ekspresi kegalauan si mbak yang nulis. Mohon dimaafkan
jika yang membaca kurang berkenan. Saya Cuma pengen bilang, dalam
bersosial media tidak diharuskan menjadi pengguna yang selalu
tampil menebar kebaikan dan berbagi inspirasi, itu terlalu idealis. Cukup
dengan mengendalikan jari saja untuk tidak saling menyakiti.
Jangan baper!
Selasa, 19 Juli 2016
Any Body Home?
Sudah sekitar empat bulanan saya
samaskali tidak memposting apapun di blog ini. Sebagaimana rumah yang lama tak
dikunjungi, tentu saya sangat merindukan laman tempat saya mendokumentasikan
rasa, ide dan sikap ini. Jadi sebelum nulis panjang lebar, saya mau menyapa
unyu blog ini dulu ya
ha loo .... *krik-krik*
Dah ah..
Selama lebih kurang empat bulanan
ini, banyak banget sebenernya hal yang pengen saya tulis dan post di sini. Tapi,
karena sebuah alasan yang saya terlalu benci untuk mengutarakannya, topik-topik
itu nggak jadi saya tulis dalam masing-masing postingan, dan akan saya rapel
dalam postingan edisi rindu kali ini *pasang ikat kepala*
Here we go!!!
Dimulai dari bulan April. Jadi,
pada tanggal 20-25, salah satu organisasi yang saya ikuti dimalang mengadakan sebuah pelatihan kepemudaan tingkat nasional. Pada kegiatan ini, saya diamanahkan mejadi
tim komisi disiplin dalam perangkat kepanitiaan. Wow, unbelievable. Makhluk serapuh
saya ini diminta untuk mendisiplinkan peserta pelatihan yang sangat mungkin jauh
lebih disiplin dari saya. They are really kidding me i thought.
Saya lalu bergalau ria antara menerima atau tidak. Pikiran saya nyaris kacau,
memikirkan amanah yang sangat tidak biasa ini. Kalo bisa milih mending jadi ketua pelaksana sekalian deh daripada diminta kadi komdis. Ketahuilah, beban yang menurut saya teramat
berat ini bukan karena jobdesk membangunkan peserta pukul 01.30 dini hari
kemudian mengevaluasi hingga pukul 03.30 setiap harinya selama 4 hari. Bukan
tentang upaya-upaya merubah orang
menjadi dispilin yang agak mustahil
dilakukan dalam waktu 4 hari. Dan bukan pula karena takut akan perubahan siklus
biologi saya yang akan menyamai kelelawar nanti.
Hanya karena satu hal. Beban amanah jadi komdis menurut saya teramat dekat dengan predikat
munafik.
Selang beberapa hari menggalau
dengan sedikit drama, akhirnya saya membuat sebuah keputusan. Inna a’malu
binniati. Saya meyakinkan diri bahwa saya diberi tanggung jawab bukan karena
kemauan saya tapi karena saya dipercaya dan insya Allah dapat diandalkan.
Tidakkah ini adalah kesempatan yang baik untuk memantaskan diri menjadi sebenar-benarnya manusia yang disiplin? Tidakkah ini menjadi sebuah peluang untuk turut serta dalam lomba
menuju kebaikan? Bismillah I can do it. mari memulai amanah ini dengan
memantaskan diri sebagai seorang evaluator *tapi tetap saja nggak terlalu
pantas hiks*.
Menyadari bahwa dengan senjata
lidah yang tajamnya akan menyayat hati dan peluru kata yang dapat menembus
jantung bagi mereka yang akan dievaluasi, sekiranya ini akan menjadi sebuah
pengingat yang mematikan jika saja saya
diuji dengan kadar iman yang terjun bebas suatu hari nanti. Naudzubillah min
dzalik.
Well, saya dan tim komdis dengan
segenap masalah yang kami punya, berhasil mengeksekusi tugas kami dengan baik.
Wallahu alam dengan keadaan diri kami masing-masing yang tak luput dari kalimat istighfar tiap
menitnya.
Tanggal 20-25 April 2016 menjadi empat
hari yang benar-benar menguras tenaga,
emosi, pikiran, dan isi dompet tentunya. Dengan kondisi fisik yang sangat
sangat rapuh ini, rasanya memang predikat “sok kuat” dari seorang sahabat
terlihat pantas dinobatkan pada diri saya.
Pada suatu hari dalam empat hari
tersebut, saya harus memaksakan diri
untuk tetap ON selama 24 jam karena terhimpit agenda yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak.
Well, saya benar-benar tidak punya pilhan untuk tidur meski sejam dan mencoba
untuk bertahan melewati semua rintangan *le bay Riii*
Hari itu adalah tanggal 22 April.
24 Jam pada hari jumat tersebut terasa seperti hadiah dari Allah. Rasa lelah
yang saya rasakan kiranya tak sebanding dengan perasaan bahagia. Bagaimana tidak, 24 jam pada hari itu terasa
sungguh sangat produktif. Sebuah kesempatan berharga bagi saya untuk menjadi
sebaik-baik manusia, dengan bermanfaat bagi orang lain. Tidak perlu saya tuliskan disini apa saja agenda dalam 24 jam
itu, bercerita seperti ini saja sudah cukup untuk menjadikan saya manusia yang
luar biasa riya wkwkw.
Kemudian, sebuah ujianpun datang
(lagi). Seminggu setelah perhelatan akbar agenda Pelatihan Pemuda tersebut, saya kembali jatuh sakit sesuai dengan prediksi mereka yang cukup
mengenal bahwa musuh terbesar bagi benteng pertahanan kesehatan saya adalah
rasa lelah. Bukan hal yang langka
memang. Bahkan, saya nyaris terbiasa dengan keadaan seperti ini. Yeah, i had
been making a shit deal with it.
Demi tidak merusak salah satu
resolusi di tahun 2016 ini, yaitu tidak kembali dirawat di Rumah Sakit, saya
berusaha semaksimal mungkin, dengan sedikit
ilmu yang saya miliki sebagai mahasiswa fakultas kedokteran, untuk
menyembuhkan diri tanpa harus ke Rumah Sakit. Tiga hari berturut-turut saya
diserang demam tinggi dengan komplikasi batuk yang bisa dibilang sangat parah.
Obat yang saya konsumsi tak mampu menstabilkan kembali kondisi badan saya.
Hingga akhirnya saya harus melantunkan sebuah lagu milik Celine Dion, I surrender
*Welcome back to hospital*
*Welcome back to hospital*
Berbeda dengan sebelumnya ketika
saya menjalani rawat inap dengan diagnosa penyakit yang tak seberapa, kali ini
saya harus berusaha menguatkan diri dengan diagnosa penyakit yang pernah
menjadi salah satu kasus yang saya tangani saat menjalani prkatik di salah satu
rumah sakit di Malang. Bronkitis.
Walaupun agak menyedihkan, saya
masih merasa beruntung karena penyakit ini masih dalam fase yang dapat
disembuhkan apabila mendapat penanganan yang tepat. Tentu saja saya optimis
bisa kembali sehat dan bisa say good bye pada penyakit radang paru-paru ini.
Ulasan mengenai bronkitis, akan saya bahas lebih detail di postingan lain.
Kurang lebih saya menjalani
perawatan selama 7 hari di rumah sakit. Dan karena kondisi yang masih belum fit
meski sudah diizinkan pulang sama dokter, saya akhirnya memutuskan untuk pulang
ke home sweet home agar bisa lebih maksimal menjalani proses recovery. Well,
dengan kembalinya saya ke rumah di kampung, alhamdulillah kondisi saya saat ini
kembali membaik. Tinggal satu tahap lagi untuk menang melawan musuh sekaligus
guru dalam hidup yang singkat ini.
kemudiaan......
kemudiaan......
Udahan ah curhatnya. *lepas ikat kepala kemudian teler*
Minggu, 17 April 2016
Merenung
Memiliki karakter yang tidak begitu feminim seperti kebanyakan perempuan membuat saya sering merenung akhir-akhir ini. Masa saya akan terus
seperti ini sampe ajal datang sih. Sampe
kapan saya menjadi manusia yang kalo ngomong suka bikin orang lain
terintimidasi? Sampe kapan saya menjadi manusia yang terlalu berlogika dan terus-terusan mengesampingkan perasaan? Sampe kapan saya harus dianggap manusia yang tidak
enak di ajak ngobrol seputar permasalahan hati? Sampe kapan
saya menjadi manusia yang kalo marah bisa membahayakan harga diri orang yang
menyebabkan saya marah? Sampe kapaan?
Saya benci menjadi orang yang
perfeksionis. Standar hidup yang saya buat terhadap sebuah pencapaian terlalu
tinggi. Ekpetasi saya terhadap orang lain sangat berlebihan. Saya nyaris selalu
menuntut kesempurna terhadap tanggung jawab
yang diberikan orang lain. Hasilnya? Tentu saja saya menuai kecewa. Salah siapa?
Tentu salah saya yang terlalu idealis.
Mereka yang berharap dimengerti
karena terbiasa lalai dan menganggap maaf dapat memperbaiki segalanya, menganggap saya
adalah musuh terbesar yang harus diwaspadai. Saya memang manusia yang tidak
pantas diberikan tanggung jawab dalam bentuk tim yang mana orang-orangnya tidak
se ambisius saya. Mereka pasti akan tersiksa jika harus bekerja sama dengan
manusia yang banyak menuntut dan sangat nggak selow ini.
Bukan apa-apa dan saya tidak
ingin menyalahkan siapa-siapa. Seperti yang saya bilang diatas, ini adalah
salah saya yang terlalu idealis. Saya menulis ini selain untuk kepentingan curhat, saya juga berharap dapat
menemukan solusi atas permasalahan klasik yang sering saya temui dalam
kepengurusan/ kepanitiaan sekelompok orang yang terbiasa dengan manajemen by
sorry ini.
Mungkin Allah sedang
sayang-sayangya dan cinta-cintanya sama saya sehingga lewat saudara-saudara
ini Allah menguji saya.
Jika memang sudah sebegitu tidak
memungkinkan berharap saudara-saudara saya itu bisa seperti maunya saya, maka
saya yang harus memaksa diri saya untuk memahami mereka dan tetap berprasangka
baik. Saya harus ingat bahwa kesempurnaan, kesuksesan, kebahagiaan, bukan tujuan utama yang harus
saya capai dalam hidup ini. Berkah, itu yang jadi tujuan utama.
Buat apa mendapatkan hasil yang
sesuai dengan ekspetasi saya kalo ujung-ujungnya berkahnya hanya sedikit atau
bahkan tidak berkah? Buat apa saya menyiksa batin kalo ujung-ujungnya lelah
yang saya rasakan justru berbuah dosa?
Rugi bandar ciin.
Ditulis dalam keadaan kesal dan akhirnya bisa tersenyum kembali
:)
Langganan:
Postingan (Atom)